1.
PENDAHULUAN
Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketahuan Yang Maha
Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa
Sansekerta ataupun bahasa Pali. Kata ketuhanan yang beasal dari kata tuhan yang
diberi imbuhan ke- dan –an bermakna sifat-sifat tuhan. Dengan kata lain
ketuhanan berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan
tuhan. Ketahuan Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan
mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan Yang jumlahnya satu. Tetapi
sesungguhnya Ketahuan Yang Maha Esa, berarti Sifat-sifat Luhur atau Mulia
Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari
Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau mulia, bukan Tuhannya.
Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti
halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptaannya. Pencipta itu adalah Causa
Prima yang mempunyai hubungan dengan yang diciptakannya. Manusia sebagai
makhluk yang dicipta wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya.
Dalam konteks bernegara, maka dalam masyarakat yang berdasarkan Pancasila,
dengan sendirinya dijamin kebebasan memeluk agama masing-masing. Sehubungan
dengan agama itu perintah dari Tuhan dan merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan
oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan, maka untuk menjamin
kebebasan tersebut di dalam alam Pancasila seperti kita alami sekarang ini
tidak ada pemaksaan beragama, atau orang memeluk agama dalam suasana yang
bebas, yang mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat Pancasila dengan
sendirinya agama dijamin berkembang dan tumbuh subur dan konsekuensinya
diwajibkan adanya toleransi beragama.
Jika ditilik secara historis, memang pemahaman
kekuatan yang ada di luar diri manusia dan di luar alam yang ada ini atau
adanya sesuatu yang bersifat adikodrati (di atas / di luar yang kodrat) dan
yang transeden (yang mengatasi segala sesuatu) sudah dipahami oleh bangsa
Indonesia sejak dahulu. Sejak zaman nenek moyang sudah dikenal paham animisme,
dinamisme, sampai paham politheisme. Kekuatan ini terus saja berkembang di
dunia sampai masuknya agama-agama Hindu, Budha, Islam, Nasrani ke Indonesia,
sehingga kesadaran akan monotheisme di masyarakat Indonesia semakin kuat. Oleh
karena itu tepatlah jika rumusan sila pertama Pancasila adalah Ketahuan Yang
Maha Esa
Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh keberadaban
daripada makhluk hidup dan siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan dari
makhluk dan siapapun justru disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena itu
Tuhan adalah Prima Causa yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas
timbulnya sebab-sebab yang lain. Dengan demikian Ketahuan Yang Maha Esa
mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang
menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini adalah manusia. Sebagai Maha
Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selainNya adalah
terbatas.
Dalam konteks ini, akan dibahas hubungan Pancasila dengan makna sesajen
di Bali yan berhubungan dengan mitos-mitos keagamaan yang ada di sana.
Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu memulai hari dengan doa yang
diiringi sesajen bunga untuk dipersembahkan kepada Dewa-Dewi Bali. Sesajen
memiliki nilai yang sakral bagi warga Bali. Mereka percaya dengan
mempersembahkan sesajen, mereka akan mendapatkan keberuntungan, sekaligus
menolak kesialan. Selain untuk mendapatkan keberuntungan, pemberian sesajen
juga merupakan cara warga Bali untuk bersyukur kepada para Dewa yang telah
memberikan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Tradisi ini sudah dilakukan
sejak lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang memiliki
pemikiran religius. Ada simbol atau siloka di dalam pemberian sesajen, yaitu
sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari. Sedangkan, sesajen istimewa
dipersiapkan untuk acara-acara keagamaan tertentu. Di pura-pura, sesajen
untuk Dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan
sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan di bagian dasar. Bentuk sesajen yang
seringkali kita temui di Bali adalah bunga. Bunga bermakna filosofis, agar kita
dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur. Keharuman
merupakan kiasan dari berkah yang berlimpah dari para leluhur dan dapat
mengalir kepada keturunan.
2. PEMBAHASAN
Mayoritas masyarakat bali adalah beragama Hindu. Dalam kehidupan beragama,
masyarakat bali yang beragama Hindu percaya adanya satu tuhan dalam bentuk
Trimurti yang Esa yaitu Brahmana (yang menciptakan), Wisnu (yang melindung dan
memelihara), dan siwa (yang merusak). Selain itu masyarakat bali juga percaya
kepada berbagai Dewa yana lain yang kedudukannya yang lebih rendah dari
Trimurti, seperti dewa Wahyu (dewa angin), dan Dewa Indra (dewa perang). Agama
Hindu di Bali juga mempercayai adanya roh abadi (Otman), buah dari setiap
perbuatan (Karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (Punarbawa) dan kebebasan
jiwa (moksa), semua ajaran-ajaran itu berada di kitab Wedha.
Tempat
untuk melakukan persembahyangan (ibadah) agama Hindu di Bali dinamakan Pura
atau Sangeh. Tempat ibadah ini berupa sekelompok bangunan-bangunan suci yang
sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum seperti Pura desa dan ada yang
sifatnya khusus yaitu Pura keluarga. Di bali terdapat beribu-ribu pura atau
sangeh yang masing-masing pura tersebut mempunyai hari upacara (hari perayaan)
tertentu sesuai denga perayaan leluhur mereka yang telah ditentukan oleh sistem
tanggalanya sendiri-sendiri.
Tempat-tempat tertentu yang ada di Bali, terutama di
pohon-pohon besar, Pura atau yang lain banyak terdapat sesajen-sesajen di
bawahnya. Mengapa banyak sesaji di sana? Jadi, pada abad ke-8 di
tahun Saka 858, seorang Maha Resi bernama Markandeya bersama dengan pengikutnya
membuka sebuah daerah baru di Puakan yang sekarang ini disebut dengan Taro,
Tegal Lalang daerah Gianyar, Bali. Dalam pembentukan daerah baru tersebut sang
Maha Resi mengajarkan untuk membuat upakara atau sesajen yang digunakan untuk
sarana upacara, awalnya hanya terbatas pada para pengikutnya saja namun lama
kelamaan menyebar ke penduduk lain di sekitar desa Taro.
Penduduk desa Taro yang melakukan upacara pemujaan
menggunakan sesajen dengan bahan baku daun, bunga, air, dan api disebut
orang-orang Bali. Karena kebiasaan yang dibawa oleh Maha Resi tersebut
berkembang hingga ke seluruh pulau, maka daerah tersebut dinamakan Bali. Secara
jelasnya Bali adalah sebuah pulau yang dihuni oleh orang-orang yang melakukan
pemujaan dengan menggunakan sarana sesajen. Sesajen diletakkan di dekat
kolam ikan, bukti tradisi masih berlangsung hingga sekarang. Kebiasaan
meletakkan sesajen ini ternyata tidak hanya berhenti pada abad ke-8 saja.
Tradisi upacara menggunakan sesajen tersebut juga diteruskan oleh Maha Resi
lainnya, seperti halnya Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu
Jiwaya, dan Mpu Nirartha. Sebagai alat bantu yang sangat sakral, sesajen
tersebut memiliki banyak fungsi. Contohnya sebagai persembahan atau tanda
terima kasih, alat konsentrasi terhadap Hyang Widhi, simbol manifestasi Yang
Maha Kuasa, serta sebagai alat pensucian dan juga pengganti mantra. Karena
begitu sakral dan pentingnya fungsi serta makna sesajen, tidak heran hingga
detik ini masih menemui tradisi tersebut saat berkunjung ke Bali.
Makanan yang biasanya dijadikan sesajen
adalah makanan yang telah dimasak atau makanan yang akan dihidangkan untuk
keluarga di rumah. Warga Bali percaya bahwa di setiap tempat ada roh yang
menunggu, jadi sesajen bisa diletakkan di mana aja. Seringkali, sesajen
diletakkan di jalan, trotoar, atau persimpangan jalan. Tujuan utamanya tentu
aja supaya mereka dihindarkan dari berbagai gangguan di jalan. Dan tak jarang
sesajen juga diletakkan di kendaraan bermotor supaya memberi keselamatan saat
berkendara. Di tempat yang dijadikan sebagai ladang mencari nafkah juga sering
diletakkan sesajen. Misalnya di toko, dengan tujuan agar roh atau Dewa
melindungi toko tersebut dari gangguan dan mendatangkan banyak rezeki untuk
toko tersebut. Sedangkan, sesajen yang ditaruh di depan rumah sebagai penghormatan
kepada roh penunggu rumah agar rumah terhindar dari bencana.
Sesajen bunga ini merupakan tradisi
dari agama Budha dan Hindu, yang bertujuan untuk memuja dewa, roh, serta
penunggu tempat seperti batu, pohon besar, persimpangan jalan, dan kendaraan
agar berkah, menolak bala dan supaya terkabul keinginannya. Lalu apa makna
khususnya bila sesajen tersebut diletakkan di pura? Sesajen yang diletakkan di
pura juga untuk kepentingan ibadah. Di pura, sesajen atau sering disebut dengan
canang ini diletakkan di altar yang tinggi, untuk menghormati dewa dan arwah
para leluhur. Sedangkan bila canang diletakkan di bawah dan biasanya berisi
daging mentah, bertujuan untuk mengusir roh jahat.
Sesajen sederhana dipersembahkan
setiap hari, sementara sesajen istimewa dipersiapkan untuk acara keagamaan
tertentu. Ada mitos bahwa bila pengunjung menginjak atau menendang sesajen akan
bernasib sial. Benar atau tidaknya tentang mitos ini, mengajarkan pada kita
untuk selalu menghormati adat dan kepercayaan di tempat yang kita datangi.
Bagaimana dengan makna kain kotak-kotak yang menjadi bagian dari adat dan
kehidupan masyarakat Bali ini? Kain ini disebut sebagai Saput Poleng yang juga
bisa ditemukan hampir di setiap sudut di Bali, terutama di pura, patung,
bangunan, serta sebagai busana dalam acara khusus. Bagi masyarakat Bali, kain
ini mempunyai fungsi khusus dan istimewa, yang menyiratkan makna filosofis.
Makna filosofis Saput Poleng adalah sebagai refleksi dari kehidupan masyarakat
baik dan buruk, yang dalam agama Hindu disebut Rwa Bhineda. Dua sifat yang
bertolak belakang, yakni hitam-putih, atas-bawah, baik-buruk, dan suka-duka.
Buat yang baru pertama kali berangkat ke Bali,
biasanya teman-teman suka mengingatkan agar kamu nggak menginjak atau
menyenggol sesajen. Katanya, hal itu bisa menyebabkan kita mengalami celaka
atau kejadian yang nggak enak. Padahal, nggak menginjak atau menyenggol sesajen
adalah bentuk penghormatan kita terhadap tradisi atau kepercayaan warga Bali,
bukan supaya kita nggak kena celaka. Jika kamu melihat ada sesajen di pantai
atau tempat tertentu, memang sebaiknya nggak menginjak sesajen
tersebut. Tapi, kalau terpaksa dan nggak bisa menghindar, apa boleh buat.
Misalnya saat lagi naik motor atau mobil dan nggak sengaja melindas sesajen
atau ketika lagi melewati jalan sempit dan mau nggak mau harus menyenggol
sesajen yang terletak di tengah jalan. Tapi, kadang ada juga turis nakal yang
malah sengaja menginjak atau menyenggol sesajen di Bali. Mungkin itulah yang
membuat orang-orang gerah dan berusaha mengingatkan ke semua pengunjung agar
nggak lagi menginjak sesajen. Salah satu caranya adalah dengan menakut-nakuti
soal kesialan yang bisa ditimbulkan akibat menginjak sesajen. Padahal, kalau
menurut orang Bali asli sendiri sih, nggak bakal ada masalah yang ditimbulkan
jika kita menginjak atau menyenggol sesajen.
3. SIMPULAN
DAN SARAN
Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh keberadaban daripada makhluk
hidup dan siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan dari makhluk dan siapapun
justru disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena itu Tuhan adalah Prima
Causa yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas timbulnya sebab-sebab yang
lain. Dengan demikian Ketahuan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta
isinya. Dan diantara makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan
sila ini adalah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas,
sedangkan selainNya adalah terbatas. Dalam konteks ini, akan dibahas hubungan
Pancasila dengan makna sesajen di Bali yan berhubungan dengan mitos-mitos
keagamaan yang ada di sana. Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu
memulai hari dengan doa yang diiringi sesajen bunga untuk dipersembahkan kepada
Dewa-Dewi Bali. Sesajen memiliki nilai yang sakral bagi warga Bali. Mereka
percaya dengan mempersembahkan sesajen, mereka akan mendapatkan keberuntungan,
sekaligus menolak kesialan. Selain untuk mendapatkan keberuntungan, pemberian
sesajen juga merupakan cara warga Bali untuk bersyukur kepada para Dewa
yang telah memberikan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Tradisi ini sudah
dilakukan sejak lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang
memiliki pemikiran religius. Ada simbol atau siloka di dalam pemberian sesajen,
yaitu sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari. Sedangkan, sesajen istimewa
dipersiapkan untuk acara-acara keagamaan tertentu. Di pura-pura, sesajen
untuk Dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan
sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan di bagian dasar. Bentuk sesajen yang
seringkali kita temui di Bali adalah bunga. Bunga bermakna filosofis, agar kita
dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur. Keharuman
merupakan kiasan dari berkah yang berlimpah dari para leluhur dan dapat
mengalir kepada keturunan.
Buat yang baru pertama kali berangkat ke Bali,
biasanya teman-teman suka mengingatkan agar kamu nggak menginjak atau menyenggol
sesajen. Katanya, hal itu bisa menyebabkan kita mengalami celaka atau kejadian
yang nggak enak. Padahal, nggak menginjak atau menyenggol sesajen adalah bentuk
penghormatan kita terhadap tradisi atau kepercayaan warga Bali, bukan supaya
kita nggak kena celaka.
DAFTAR PUSTAKA
Sukayanti,
Luh Rika. 2012. Masyarakat Kebudayaan
Bali. Diambil dari: http://rikamultimedia2.blogspot.co.id/2012/05/makalah-kebudayaan-masyarakat-bali.html
Breaktime.
2015. Kenapa di Bali Bertebaran Sesajen?
Ini Kisahnya!. Diambil dari: http://breaktime.co.id/travel/the-story/kenapa-di-bali-bertebaran-sesajen-ini-kisahnya.html/more
Tracy,
Mariska. 2016. Menginjak Sesaji di Bali
Bisa Celaka?. Diambil dari: https://www.pegipegi.com/travel/menginjak-sesajen-di-bali-bisa-celaka/
Sindonews.
2017. Makna Sarung Kotak-Kotak dan
Sesajen di Bali. Diambil dari:https://lifestyle.okezone.com/read/2017/07/18/406/1739461/makna-sarung-kotak-kotak-dan-sesajen-di-bali