Selasa, 17 Oktober 2017

Kaitan Sesajen di Bali dengan Pancasila



1.      PENDAHULUAN
Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketahuan Yang Maha Esa. Kalimat pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali. Kata ketuhanan yang beasal dari kata tuhan yang diberi imbuhan ke- dan –an bermakna sifat-sifat tuhan. Dengan kata lain ketuhanan berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan. Ketahuan Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan Yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya Ketahuan Yang Maha Esa, berarti  Sifat-sifat Luhur atau Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau mulia, bukan Tuhannya.
Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptaannya. Pencipta itu adalah Causa Prima yang mempunyai hubungan dengan yang diciptakannya. Manusia sebagai makhluk yang dicipta wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Dalam konteks bernegara, maka dalam masyarakat yang berdasarkan Pancasila, dengan sendirinya dijamin kebebasan memeluk agama masing-masing. Sehubungan dengan agama itu perintah dari Tuhan dan merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan, maka untuk menjamin kebebasan tersebut di dalam alam Pancasila seperti kita alami sekarang ini tidak ada pemaksaan beragama, atau orang memeluk agama dalam suasana yang bebas, yang mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat Pancasila dengan sendirinya agama dijamin berkembang dan tumbuh subur dan konsekuensinya diwajibkan adanya toleransi beragama.
Jika ditilik secara historis, memang pemahaman kekuatan yang ada di luar diri manusia dan di luar alam yang ada ini atau adanya sesuatu yang bersifat adikodrati (di atas / di luar yang kodrat) dan yang transeden (yang mengatasi segala sesuatu) sudah dipahami oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejak zaman nenek moyang sudah dikenal paham animisme, dinamisme, sampai paham politheisme. Kekuatan ini terus saja berkembang di dunia sampai masuknya agama-agama Hindu, Budha, Islam, Nasrani ke Indonesia, sehingga kesadaran akan monotheisme di masyarakat Indonesia semakin kuat. Oleh karena itu tepatlah jika rumusan sila pertama Pancasila adalah Ketahuan Yang Maha Esa
Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh keberadaban daripada makhluk hidup dan siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan dari makhluk dan siapapun justru disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena itu Tuhan adalah Prima Causa yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas timbulnya sebab-sebab yang lain. Dengan demikian Ketahuan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini adalah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selainNya adalah terbatas.
Dalam konteks ini, akan dibahas hubungan Pancasila dengan makna sesajen di Bali yan berhubungan dengan mitos-mitos keagamaan yang ada di sana. Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu memulai hari dengan doa yang diiringi sesajen bunga untuk dipersembahkan kepada Dewa-Dewi Bali. Sesajen memiliki nilai yang sakral bagi warga Bali. Mereka percaya dengan mempersembahkan sesajen, mereka akan mendapatkan keberuntungan, sekaligus menolak kesialan. Selain untuk mendapatkan keberuntungan, pemberian sesajen juga merupakan cara warga Bali untuk bersyukur kepada para Dewa yang telah memberikan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Tradisi ini sudah dilakukan sejak lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang memiliki pemikiran religius. Ada simbol atau siloka di dalam pemberian sesajen, yaitu sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari. Sedangkan, sesajen istimewa dipersiapkan untuk acara-acara keagamaan tertentu. Di pura-pura, sesajen untuk Dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan di bagian dasar. Bentuk sesajen yang seringkali kita temui di Bali adalah bunga. Bunga bermakna filosofis, agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur. Keharuman merupakan kiasan dari berkah yang berlimpah dari para leluhur dan dapat mengalir kepada keturunan.



2.      PEMBAHASAN
Mayoritas masyarakat bali adalah beragama Hindu. Dalam kehidupan beragama, masyarakat bali yang beragama Hindu percaya adanya satu tuhan dalam bentuk Trimurti yang Esa yaitu Brahmana (yang menciptakan), Wisnu (yang melindung dan memelihara), dan siwa (yang merusak). Selain itu masyarakat bali juga percaya kepada berbagai Dewa yana lain yang kedudukannya yang lebih rendah dari Trimurti, seperti dewa Wahyu (dewa angin), dan Dewa Indra (dewa perang). Agama Hindu di Bali juga mempercayai adanya roh abadi (Otman), buah dari setiap perbuatan (Karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (Punarbawa) dan kebebasan jiwa (moksa), semua ajaran-ajaran itu berada di kitab Wedha.
            Tempat untuk melakukan persembahyangan (ibadah) agama Hindu di Bali dinamakan Pura atau Sangeh. Tempat ibadah ini berupa sekelompok bangunan-bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum seperti Pura desa dan ada yang sifatnya khusus yaitu Pura keluarga. Di bali terdapat beribu-ribu pura atau sangeh yang masing-masing pura tersebut mempunyai hari upacara (hari perayaan) tertentu sesuai denga perayaan leluhur mereka yang telah ditentukan oleh sistem tanggalanya sendiri-sendiri.
Tempat-tempat tertentu yang ada di Bali, terutama di pohon-pohon besar, Pura atau yang lain banyak terdapat sesajen-sesajen di bawahnya. Mengapa banyak sesaji di sana? Jadi, pada abad ke-8 di tahun Saka 858, seorang Maha Resi bernama Markandeya bersama dengan pengikutnya membuka sebuah daerah baru di Puakan yang sekarang ini disebut dengan Taro, Tegal Lalang daerah Gianyar, Bali. Dalam pembentukan daerah baru tersebut sang Maha Resi mengajarkan untuk membuat upakara atau sesajen yang digunakan untuk sarana upacara, awalnya hanya terbatas pada para pengikutnya saja namun lama kelamaan menyebar ke penduduk lain di sekitar desa Taro. 
Penduduk desa Taro yang melakukan upacara pemujaan menggunakan sesajen dengan bahan baku daun, bunga, air, dan api disebut orang-orang Bali. Karena kebiasaan yang dibawa oleh Maha Resi tersebut berkembang hingga ke seluruh pulau, maka daerah tersebut dinamakan Bali. Secara jelasnya Bali adalah sebuah pulau yang dihuni oleh orang-orang yang melakukan pemujaan dengan menggunakan sarana sesajen. Sesajen diletakkan di dekat kolam ikan, bukti tradisi masih berlangsung hingga sekarang. Kebiasaan meletakkan sesajen ini ternyata tidak hanya berhenti pada abad ke-8 saja. Tradisi upacara menggunakan sesajen tersebut juga diteruskan oleh Maha Resi lainnya, seperti halnya Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha. Sebagai alat bantu yang sangat sakral, sesajen tersebut memiliki banyak fungsi. Contohnya sebagai persembahan atau tanda terima kasih, alat konsentrasi terhadap Hyang Widhi, simbol manifestasi Yang Maha Kuasa, serta sebagai alat pensucian dan juga pengganti mantra. Karena begitu sakral dan pentingnya fungsi serta makna sesajen, tidak heran hingga detik ini masih menemui tradisi tersebut saat berkunjung ke Bali.
Makanan yang biasanya dijadikan sesajen adalah makanan yang telah dimasak atau makanan yang akan dihidangkan untuk keluarga di rumah. Warga Bali percaya bahwa di setiap tempat ada roh yang menunggu, jadi sesajen bisa diletakkan di mana aja. Seringkali, sesajen diletakkan di jalan, trotoar, atau persimpangan jalan. Tujuan utamanya tentu aja supaya mereka dihindarkan dari berbagai gangguan di jalan. Dan tak jarang sesajen juga diletakkan di kendaraan bermotor supaya memberi keselamatan saat berkendara. Di tempat yang dijadikan sebagai ladang mencari nafkah juga sering diletakkan sesajen. Misalnya di toko, dengan tujuan agar roh atau Dewa melindungi toko tersebut dari gangguan dan mendatangkan banyak rezeki untuk toko tersebut. Sedangkan, sesajen yang ditaruh di depan rumah sebagai penghormatan kepada roh penunggu rumah agar rumah terhindar dari bencana.
Sesajen bunga ini merupakan tradisi dari agama Budha dan Hindu, yang bertujuan untuk memuja dewa, roh, serta penunggu tempat seperti batu, pohon besar, persimpangan jalan, dan kendaraan agar berkah, menolak bala dan supaya terkabul keinginannya. Lalu apa makna khususnya bila sesajen tersebut diletakkan di pura? Sesajen yang diletakkan di pura juga untuk kepentingan ibadah. Di pura, sesajen atau sering disebut dengan canang ini diletakkan di altar yang tinggi, untuk menghormati dewa dan arwah para leluhur. Sedangkan bila canang diletakkan di bawah dan biasanya berisi daging mentah, bertujuan untuk mengusir roh jahat.
Sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari, sementara sesajen istimewa dipersiapkan untuk acara keagamaan tertentu. Ada mitos bahwa bila pengunjung menginjak atau menendang sesajen akan bernasib sial. Benar atau tidaknya tentang mitos ini, mengajarkan pada kita untuk selalu menghormati adat dan kepercayaan di tempat yang kita datangi. Bagaimana dengan makna kain kotak-kotak yang menjadi bagian dari adat dan kehidupan masyarakat Bali ini? Kain ini disebut sebagai Saput Poleng yang juga bisa ditemukan hampir di setiap sudut di Bali, terutama di pura, patung, bangunan, serta sebagai busana dalam acara khusus. Bagi masyarakat Bali, kain ini mempunyai fungsi khusus dan istimewa, yang menyiratkan makna filosofis. Makna filosofis Saput Poleng adalah sebagai refleksi dari kehidupan masyarakat baik dan buruk, yang dalam agama Hindu disebut Rwa Bhineda. Dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, atas-bawah, baik-buruk, dan suka-duka.
Buat yang baru pertama kali berangkat ke Bali, biasanya teman-teman suka mengingatkan agar kamu nggak menginjak atau menyenggol sesajen. Katanya, hal itu bisa menyebabkan kita mengalami celaka atau kejadian yang nggak enak. Padahal, nggak menginjak atau menyenggol sesajen adalah bentuk penghormatan kita terhadap tradisi atau kepercayaan warga Bali, bukan supaya kita nggak kena celaka. Jika kamu melihat ada sesajen di pantai atau tempat tertentu, memang sebaiknya nggak menginjak sesajen tersebut. Tapi, kalau terpaksa dan nggak bisa menghindar, apa boleh buat. Misalnya saat lagi naik motor atau mobil dan nggak sengaja melindas sesajen atau ketika lagi melewati jalan sempit dan mau nggak mau harus menyenggol sesajen yang terletak di tengah jalan. Tapi, kadang ada juga turis nakal yang malah sengaja menginjak atau menyenggol sesajen di Bali. Mungkin itulah yang membuat orang-orang gerah dan berusaha mengingatkan ke semua pengunjung agar nggak lagi menginjak sesajen. Salah satu caranya adalah dengan menakut-nakuti soal kesialan yang bisa ditimbulkan akibat menginjak sesajen. Padahal, kalau menurut orang Bali asli sendiri sih, nggak bakal ada masalah yang ditimbulkan jika kita menginjak atau menyenggol sesajen.



3.      SIMPULAN DAN SARAN
Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh keberadaban daripada makhluk hidup dan siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan dari makhluk dan siapapun justru disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena itu Tuhan adalah Prima Causa yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas timbulnya sebab-sebab yang lain. Dengan demikian Ketahuan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini adalah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selainNya adalah terbatas. Dalam konteks ini, akan dibahas hubungan Pancasila dengan makna sesajen di Bali yan berhubungan dengan mitos-mitos keagamaan yang ada di sana. Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu memulai hari dengan doa yang diiringi sesajen bunga untuk dipersembahkan kepada Dewa-Dewi Bali. Sesajen memiliki nilai yang sakral bagi warga Bali. Mereka percaya dengan mempersembahkan sesajen, mereka akan mendapatkan keberuntungan, sekaligus menolak kesialan. Selain untuk mendapatkan keberuntungan, pemberian sesajen juga merupakan cara warga Bali untuk bersyukur kepada para Dewa yang telah memberikan kesejahteraan bagi kehidupan mereka. Tradisi ini sudah dilakukan sejak lama, bisa dikatakan sudah berasal dari nenek moyang kita yang memiliki pemikiran religius. Ada simbol atau siloka di dalam pemberian sesajen, yaitu sesajen sederhana dipersembahkan setiap hari. Sedangkan, sesajen istimewa dipersiapkan untuk acara-acara keagamaan tertentu. Di pura-pura, sesajen untuk Dewa dan roh para leluhur diletakkan di altar yang tinggi, sedangkan sesajen untuk roh-roh jahat diletakkan di bagian dasar. Bentuk sesajen yang seringkali kita temui di Bali adalah bunga. Bunga bermakna filosofis, agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur. Keharuman merupakan kiasan dari berkah yang berlimpah dari para leluhur dan dapat mengalir kepada keturunan.
Buat yang baru pertama kali berangkat ke Bali, biasanya teman-teman suka mengingatkan agar kamu nggak menginjak atau menyenggol sesajen. Katanya, hal itu bisa menyebabkan kita mengalami celaka atau kejadian yang nggak enak. Padahal, nggak menginjak atau menyenggol sesajen adalah bentuk penghormatan kita terhadap tradisi atau kepercayaan warga Bali, bukan supaya kita nggak kena celaka.


DAFTAR PUSTAKA

Sukayanti, Luh Rika. 2012. Masyarakat Kebudayaan Bali. Diambil dari: http://rikamultimedia2.blogspot.co.id/2012/05/makalah-kebudayaan-masyarakat-bali.html


Breaktime. 2015. Kenapa di Bali Bertebaran Sesajen? Ini Kisahnya!. Diambil dari: http://breaktime.co.id/travel/the-story/kenapa-di-bali-bertebaran-sesajen-ini-kisahnya.html/more


Tracy, Mariska. 2016. Menginjak Sesaji di Bali Bisa Celaka?. Diambil dari: https://www.pegipegi.com/travel/menginjak-sesajen-di-bali-bisa-celaka/


Sindonews. 2017. Makna Sarung Kotak-Kotak dan Sesajen di Bali. Diambil dari:https://lifestyle.okezone.com/read/2017/07/18/406/1739461/makna-sarung-kotak-kotak-dan-sesajen-di-bali