BAB
I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Karya sastra merupakan sebuah struktur. Sehingga karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978: 16). Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis. Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra sendiri dipandang sebagai media atau sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan dari pembacanya.
Dalam karya sastra terdapat tiga genre yaitu puisi, prosa dan drama. Puisi sebagai karya seni sastra yang dapat dikaji bermacam-macam aspeknya. Puisi merupakan genre sastra yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam untuk memaknainya. Puisi juga dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Banyak karya sastra di dunia ini yang ditulis dalam bentuk puisi. Di dalam puisi tersebut penyair sering menuangkan ide dan gagasannya tentang peristiwa atau kejadian yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Dengan demikian puisi mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan dalam masyarakat. Kaidah yang terdapat dalam puisi sekarang mulai banyak ditanggalkan, karena adanya lisensi puitika. Lisensi puitika dianggap sebagai kebebasan pengarang dalam menuliskan puisi, mengingat karya sastra ialah imajinasi dan kreativitas dari pengarangnya yang keberadaannya membatasi daya cipta pengarang. Isi dalam puisi diutarakan secara tersirat. Ketersiratan makna puisi membuat interpretasi beragam-ragam oleh pembaca, karena makna yang terkandung lebih kias dibandingkan genre sastra lainnya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengambil karya dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Karena Kata”. Sapardi terkenal dengan karya-karyanya yang sangat sederhana, simple tetapi sangat menyentuh perasaan ketika seseorang membacanya. Karya Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Dalam makalah ini, penulis akan memakai 2 teori untuk menganalisisnya yaitu menggunakan teori dari Roman Ingarden dan juga dalam kebahasaannya di analisis menggunakan teori stilistika. Sedangkan pendekatannya sendiri penulis lebih menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis puisi ini.
BAB
II
LANDASAN TEORI
Puisi merupakan sebuah karya
sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspeknya. Secara konvensional
puisi bisa diartikan sebagai tuturan yang terikat oleh baris, bait, rima dan
sebagainya. Beberapa ahli berpendapat bahwa unsur-unsur yang terdapat pada
puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca
indra, susunan kata-kata kiasan, kepadatan dan sebagainya (Noor, 2009:25).
Puisi dapat dikaji dalam struktur dan unsurnya, mengingat puisi merupakan
struktur yang tersusun dari bermacam unsur dan sarana kepuistisannya (Pradopo,
2014:1). Struktur dalam puisi bersifat kompleks, maka untuk memahaminya
diperlukan ilmu bantu lain untuk analisisnya. Struktur puisi dapat dikaji
dengan menganalisis unsur instrinsik atau struktural. Penulis menggunakan pendekatan
pragmatik untuk menganalisis puisi ini serta menggunakan landasan teori lapis
norma Roman Ingarden untuk mengungkap strukturalisme puisi. Penulis juga
menggunakan teori stilistika untuk menganalisis makna dari puisi ini
diciptakan.
1. Pendekatan
Pragmatik
Secara umum
pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan
kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman ataupun
sepanjang zaman. Menurut Teeuw, 1994 teori pendekatan pragmatik adalah salah
satu bagian ilmu sastra yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik
beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya
satra. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan
pragmatik memberi manfaat terhadap pembaca, pendekatan
pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori
resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman
hakikat karya sastra tanpa batas.
Pendekatan
Pragmatik memberikan perhatian utama terhadap perananan pembaca, dalam
kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya,
yaitu teori resepsi, pendekatan Pragmatik dipertentangkan dengan pendekatan
ekspresif. Subjek pragmatik dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan pengarang
berbagai objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaanya, pengarang merupakan
subjek pencipta, tetapi secara terus-menerus, fungsi-fungsinya dihilangkan,
bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama
sekali tidak tahu-menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama
bahkan dianggap sebagai penulis. Pendekatan pragmatik dengan demikian
memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut.
Secara historis ( Abrams, 1976:16 ) pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM,
terkandung dalam Ars Poetica ( Hoatius ). Meskipun demikian, secara teoritis
dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi srukturalisme
memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis ,yaitu pembaca (
Mukarovsky ).
Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan pragmatik memliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyrakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya satra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya sastra tanpa batas. Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat di pecahkan melalui pendekatan pragmatis, diantaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Teori-teori postrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab samata-semata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khazanah kultural bangsa.
2.
Lapis Norma Roman Ingarden
Puisi ini memiliki struktur kompleks
yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Lapis norma puisi saling
berpengaruh satu dengan lainnya. Rene Wellek (1989:151) menjelaskan analisis
Roman Ingarden dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk, ia menganalisis
norma-norma dalam puisi menjadi seperti berikut:
1)
Lapis
Bunyi
Bunyi dalam kesusastraan
masa romantik dianggap sebagai kepuitisan yang utama. Berkaitan dengan
pembacaan puisi yang dikaitkan dengan musik. Teori simbolisme mengemukan bahwa
puisi tidak perlu memikirkan banyak arti. Melalui bunyi makna dan arti pada
puisi dapat diterima dengan baik. Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya
disebut efoni sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu disebut kakafoni
didominasi konsonan k, p, t dan s (Pradopo, 2007:27). Kakafoni dapat digunakan
untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan dan kacau. Terdapat kombinasi
bunyi-bunyi efoni, di antaranya yaitu:
a)
Kombinasi
bunyi vokal (asonansi) terdiri dari huruf a, i, u, e dan o
b)
Kombinasi
bunyi konsonan bersuara (voiced)
terdiri dari huruf b, d, g dan j
c)
Kombinasi
bunyi likuida terdiri dari huruf r dan l
d)
Kombinasi
bunyi sengau terdiri dari huruf m, n, ng dan ny.
Kakafoni dan efoni adalah
pemanfaatan bunyi yang tepat sehingga bunyi yang dirangkaikan dalam sajak dapat
menimbulkan kesan cerah atau sebaliknya. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan
sajak melalui suasana yang tercermin dalam kesatuan sajak.
2)
Lapis
Arti (Unit of Meaning)
Satuan
terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung
menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab dan seluruh cerita yang
semuanya merupakan suatu satuan arti. Fonem berkembang menjadi kata, kata
menjadi frase kemudian menjadi kalimat hingga membentuk sebuah bait yang
memiliki arti.
Lapis arti terbagi atas kosa kata,
citraan dan sarana retorika. Kosa kata, diksi dan konotasi merupakan kunci
utama dalam lapis arti ini. kata-kata yang digunakan penyair merupakan kata
berjiwa artinya kata tersebut memiliki arti yang berbeda dengan kamus dan
membutuhkan pengolahan yang dalam untuk mengartikannya. Penyair membutuhkan
pilihan kata yang tepat agat mendapat kepadatan dan intensitas puisi yang ia
mau. Selain penyair, pembaca pun juga harus mengerti arti kamus, arti denotatif
dan konotatifnya sehingga penyampaian isi dari penyair dapat ditangkap dengan
baik (Pradopo, 2014:52-60).
3)
Lapis
Ketiga
Rangkaian
satuan-satuan arti itu menimbulkan lapisan yang ketiga, yaitu objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku dan semuanya ditemukan dalam dunia pengarang
(Pradopo, 2014:15). Lapis ketiga berkaitan dengan unsur struktural pembangun
puisi.
4)
Lapis
Keempat
Lapis
norma keempat ialah “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang
tidak perlu dinyatakan secara eksplisit, karena sudah terkandung di dalamnya
(Pradopo, 2014:15). Lapis ini menjelaskan mengenai apa yang ditemukan dan yang
tidak ditemukan atau hal tersirat yang berlawanan antara kata, kalimat, baris
dan bait.
5)
Lapis
Kelima (Metafisis)
Lapis
kelima ialah lapisan metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi
(Pradopo, 2014:15). Lapisan ini ditujukan untuk mengungkap maksud dari
pengarang atas penciptaan puisinya.
Analisis lapis norma dibuat untuk mengetahui unsur pembentuk karya sastra. Rene Wellek (dalam Pradopo, 2014:19) mengkritik lapis norma Roman Ingarden dengan mengatakan bahwa analisis ini hanya mengungkap fenomena dalam puisi secara formal saja, nilai dalam puisi tidak dihubungkan dengan penilaian lainnya. Orang belum dapat memahami dan kandung nilai dalam puisi hanya dengan lapis norma Roman Ingarden.
3. Teori
Stilistika
Istilah “stilistika” diserap dari bahasa bahasa
Inggris stylistics yang diturunkan
dari kata style yang berarti ‘gaya’.
Secara etimologi, istilah style atau
gaya itu sendiri menurut Shipley (1979:314) dan Mikics (2007:288) berasal dari
bahasa Latin stilus, yang berati
‘batang atau tangkai’, menyaran pada ujung pena yang digunakan untuk membuat
tanda-tanda (tulisan) pada tanah liat yang berlapis lilin (metode kuno dalam
menulis). Jadi, secara
sederhana stilistika dapat diartikan sebagai ilmu tentang gaya bahasa.
Penelitian stilistika penting untuk
dilakukan dalam kerangka penelitian sastra karena stilistika memungkinkan kita
mengidentifikasi ciri khas teks sastra (Wellek dan Warren, 1989:226; dan
Bradford, 1997:xi). Selain itu, stilistika dapat memberikan manfaat bagi
pembaca sastra, guru sastra, kritikus sastra, dan sastrawan. Stilistika dapat
membantu pembaca sastra untuk lebih memahami seluk-beluk bahasa sastra, baik
dari aspek bunyi, kata, kalimat, hingga wacana sastra. Guru sastra pun dapat
memanfaatkan stilistika sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran
sastra khususnya untuk mengajarkan pemaknaan puisi dari aspek bahasanya.
Kritikus sastra dapat pula memanfaatkan stilistika sebagai salah satu
alternatif teori dalam mengkaji/mengkritik karya sastra dari sudut pandang
bahasanya. Sementara bagi sastrawan sebagai pencipta karya sastra, stilistika
dapat memberikan kontribusi pemahaman tentang ragam bahasa sastra sehingga para
sastrawan dapat lebih meningkatkan kualitas karya sastranya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya
sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan
bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa
figuratif. Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam karya
sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik.
BAB III
PEMBAHASAN
KARENA KATA
(Sapardi
Djoko Damono)
Karena tak
dapat kutemukan
Kata yang
paling sepi
Kutelantarkan
hati sendiri
Karena tak
dapat kuucapkan
Kata yang
paling rindu
Kubiarkan
hasrat membelenggu
Karena tak
dapat kuungkapkan
Kata yang
paling cinta
Kupasrahkan saja dalam doa
A. Analisis
Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik adalah
pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan
tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan
pendidikan, moral, politik, agama, ataupun tujuan yang lain. Atau pendekatan
pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu hal
yang dibuat atau diciptakan untuk mencapai atau menyampaikan efek-efek tertentu
pada penikmat karya sastra, baik berupa efek kesenangan, estetika atau efek
pengajaran moral, agama atau pendidikan dan efek-efek lainnya. Pendekatan ini
cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian
tujuan-tujuan tersebut bagi pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi
estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan-tanggapan pembacanya kepada
masalah yang dikemukakan dalam karya sastra. Dalam praktiknya, pendekatan ini
mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan
pendidikan moral, agama maupun fungsi sosial lainnya.
Analisis pragmatik adalah
pendekatan sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca
terhadap karya sastra itu sendiri. Dari analisis yang penulis peroleh dari
respons beberapa pembaca dapat saya simpulkan bahwa puisi “Karena Kata” karya
Sapardi Djoko Damono ini sangat menyentuh hati dan menarik pembaca untuk
membaca puisi tersebut. Dalam puisi ini penyair mampu menggambarkan perasaan-perasaannya
yang begitu mendalam sehingga tak mampu di ungkapkan dengan kata-kata yang ada,
dan dia hanya bisa mencurahkan hanya lewat doa.
Dari beberapa pembaca rata-rata setelah membaca puisi tersebut perasaannya sangat sedih dan terharu karena sebagian pembaca memiliki pengalaman yang sama dengan apa yang digambarkan penyair dalam puisinya. Irama yang digunakan dalam puisi tersebut sangat tepat dalam penggalan katanya, sehingga tiap-tiap baitnya dapat tersusun secara baik dan terstruktur sehingga dapat menjadi sebuah puisi yang indah. Dan nilai positif dari puisi tersebut menurut pembaca adalah rasa berserah diri mungkin jalan terbaik atas segala apapun yang kita rasakan dan dengan cara memasrahkan segalanya pada untaian doa yang dipanjatkan kepada sang pencipta. Terakhir setelah pembaca atau responden membaca dan menganalisis puisi diatas semuanya berpendapat bahwa puisi tersebut dapat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua umur khususnya pelajar dan mahasiswa, karena puisi tersebut menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dipahami. Dapat dibuktikan juga bahwa puisi ini sangat mudah dipahami akan penulis analisis kembali menggunakan teori stilistika.
B. Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Teori Roman Ingarden
1)
Analisis
pertama menggunakan teori Roman Ingarden yaitu lapis bunyi. Lapis bunyi ini menggunakan analisis
bunyi asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama
pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan
ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi,
sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam
baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan.
Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Ø
Pada
bait pertama Asonansi dengan vokal:
(a)
14 (i)
5 (u)
3 (e)
5 (o)
–
Aliterasi
dengan konsonan
(b)
- (d) 2 (g) 2 (h) 1 (k)
7
(p)
3 (s) 2 (t) 6
Bunyi
Likuida
(r)
3 (l) 2
Bunyi
Sengau
(m)
1 (n) 7 (ng) 1 (ny)-
Ø
Pada
bait kedua
(a)
15 (i) 3 (u) 5 (e) 4 (o)
–
Aliterasi
dengan konsonan
(b)
2 (d) 1 (g) 4 (h) 1 (k)
7
(p)
3 (s) 1 (t) 4
Bunyi
Likuida
(r)
4 (l) 2
Bunyi
Sengau
(m)
2 (n) 7 (ng) 2 (ny) –
Ø
Pada
bait ketiga
(a)
19 (i) 2 (u) 3 (e) 1 (o)
1
Aliterasi
dengan konsonan
(b)
- (d) 2 (g) 3 (h) 1 (k)
8
(p)
4 (s) 2 (t) 4
Bunyi
Likuida
(r)
2 (l) 2
Bunyi Sengau
(m)
1 (n) 6 (ng) 2 (ny) –
2)
Lapis
Arti Puisi “Karena Kata”
Setiap diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat
oleh penyair. Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi
salah satu ciri puisi. Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impres
tertentu pada pembacanya. Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang
terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat, dan
seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17). Lapis arti terbagi dalam kosa
kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam
tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan
dengan lapis-lapis lainnya.
a.
Bait pertama dapat diartikan bahwa tiada kata yang dapat mewakili keadaan
yang begitu sepi sehingga pengarang memutuskan untuk pasrah dengan hati yang
terlantar.
b.
Bait kedua memiliki arti pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi
arti dari kata rindu, sehingga pengarang memutuskan untuk membiarkan hatinya
terbelenggu.
c.
Bait ketiga dapat dimaknai bahwa
kata cinta masih belum dapat mewakili perasaannya yang begitu mendalam,
sehingga pengarang memasrahkan semuanya pada doa – doa yang dipanjatkan.
3)
Lapis
Ketiga Puisi “Karena Kata”
Pada
lapis ini mengungkapkan objek yang ada didalamnya, yaitu:
Subjek
atau pelaku : Aku
Latar
suasana : keadaan sepi dan penuh rindu
Dalam bait-bait diatas pengarang menggambarkan bahwa
banyak sekali perasaan-perasaan yang tak mampu di ungkapkan dengan kata-kata.
Yang pada akhirnya hanya ada perasaan pasrah dan doa yang terpanjat.
4)
Lapis
Keempat Puisi “Karena Kata”
Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’
yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan
bahwa banyak perasaan yang dirasakannya tak dapat diwakili dengan kata sehingga
pengarang hanya pasrah dengan memanjatkan doa.
5)
Lapis Kelima
Puisi “Karena Kata”
Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji. Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa rasa pasrah atau berserah diri merupakan jalan terbaik dari apa yang sedang kita rasakan. Pada baris terakhir puisi, pengarang menekankan pada sisi religius dengan menyerahkan semuanya pada Maha Pencipta dengan memanjatkan doa kepada sang pemberi kehidupan. “Kupasrahkan saja dalam doa”.
C. Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Teori Stilistika
1. Pada analisis puisi “Karena Kata” karya
Sapardi Djoko Damono ini, penulis akan menjabarkan teori Stilistika yang
terdapat pada puisi ini dengan menganalisisnya per-bait. Berikut merupakan
penjabarannya:
a)
Pada
bait pertama
“karena
tak dapat kutemukan
Kata
yang paling sepi
Kutelantarkan
hati sendiri”
Dalam
puisi ini terdapat majas hiperbola, yang si Aku ini menghiperbola kata dengan
sepi (suasana) hingga si Aku ini menelantarkan hatinya sendiri karena si
kekasih yang diharapkannya itu belum juga datang. Pada bait ini mengandung arti
atau makna tiada kata yang dapat mewakili keadaan yang begitu sepi sehingga pengarang
memutuskan untuk pasrah dengan hati yang terlantar.
b) Pada bait kedua
“karena tak
dapat kuucapkan
Kata yang
paling rindu
Kubiarkan
hasrat membelenggu”
Dalam puisi
ini terdapat majas hiperbola, tokoh Aku dalam puisi ini menghiperbola kata
rindu yang tidak sanggup dia ungkapkan atau dia sampaikan hingga rindu itu
terus membelenggu atau terus mengikat perasaannya yang begitu dalam. Dalam bait
ini mengandung arti atau makna pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu,
sehingga pengarang memutuskan untuk membiarkan hatinya terbelenggu.
c) Pada bait ketiga
“karena tak
dapat kuungkapkan
Kata yang
paling cinta
Kupasrahkan
saja dalam doa”
Dalam bait
ketiga puisi ini terdapat majas alegori yang menyandingkan objek dengan
kata-kata kiasan. Dalam puisi ini si Aku menyandingkan kata doa yang dia
pasrahkan dalam doa, yang membiarkan Tuhan yang menentukan akan dibawa kemana
cinta si Aku ini. Dalam bait ini mengandung arti atau makna bahwa kata cinta masih belum
dapat mewakili perasaannya yang begitu mendalam, sehingga pengarang memasrahkan
semuanya pada doa – doa yang dipanjatkan.
2. Citraan atau Imagery (gambaran angan-angan) dalam
Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono
Citraan
adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan
digunakan dalam puisi untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan
suasana yang khusus, menghidupkan gambaran dalam pikiran dan penginderaan.
Citraan yang terdapat dalam puisi ini adalah citraan pendengaran. Citra
pendengaran (auditory imagery) adalah citraan yang dihasilkan dengan
menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citraan ini terdapat pada kata
Ø
Kata yang paling sepi
Ø
Karena tak dapat kuucapkan
Ø
Karena tak dapat kuungkapkan
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978: 16). Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis. Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra sendiri dipandang sebagai media atau sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan dari pembacanya. Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Karena Kata”. Sapardi terkenal dengan karya-karyanya yang sangat sederhana, simple tetapi sangat menyentuh perasaan ketika seseorang membacanya. Karya Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.
DAFTAR PUSTAKA
Noor, Redyanto. 2010. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang:
Fasindo.
Pradopo, Rachmat Djoko.
2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University
Press.
Senja,
Gadis. 2016. Kumpulan Puisi. Diambil
dari http://kumpulanpuisiyangkusukai.blogspot.com/2016/12/karena-kata.html
Warsiman. 2017. Pengantar Pembelajaran Satra. Malang: UB
Press.
Wicaksana,
Andri. 2014. Catatan Ringkasan Stilistika.
Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca.