Rabu, 28 Oktober 2020

ANALISIS PUISI “KARENA KATA” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK MENGGUNAKAN TEORI LAPIS NORMA ROMAN INGARDEN DAN TEORI STILISTIKA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

      I.        LATAR BELAKANG

Karya sastra merupakan sebuah struktur. Sehingga karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978: 16). Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis. Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra sendiri dipandang sebagai media atau sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan dari pembacanya.

 Dalam karya sastra terdapat tiga genre yaitu puisi, prosa dan drama. Puisi sebagai karya seni sastra yang dapat dikaji bermacam-macam aspeknya. Puisi merupakan genre sastra yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam untuk memaknainya. Puisi juga dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Banyak karya sastra di dunia ini yang ditulis dalam bentuk puisi. Di dalam puisi tersebut penyair sering menuangkan ide dan gagasannya tentang peristiwa atau kejadian yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Dengan demikian puisi mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan dalam masyarakat. Kaidah yang terdapat dalam puisi sekarang mulai banyak ditanggalkan, karena adanya lisensi puitika. Lisensi puitika dianggap sebagai kebebasan pengarang dalam menuliskan puisi, mengingat karya sastra ialah imajinasi dan kreativitas dari pengarangnya yang keberadaannya membatasi daya cipta pengarang. Isi dalam puisi diutarakan secara tersirat. Ketersiratan makna puisi membuat interpretasi beragam-ragam oleh pembaca, karena makna yang terkandung lebih kias dibandingkan genre sastra lainnya.

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengambil karya dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Karena Kata”. Sapardi terkenal dengan karya-karyanya yang sangat sederhana, simple tetapi sangat menyentuh perasaan ketika seseorang membacanya. Karya Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Dalam makalah ini, penulis akan memakai 2 teori untuk menganalisisnya yaitu menggunakan teori dari Roman Ingarden dan juga dalam kebahasaannya di analisis menggunakan teori stilistika. Sedangkan pendekatannya sendiri penulis lebih menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis puisi ini.


BAB II

LANDASAN TEORI

Puisi merupakan sebuah karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspeknya. Secara konvensional puisi bisa diartikan sebagai tuturan yang terikat oleh baris, bait, rima dan sebagainya. Beberapa ahli berpendapat bahwa unsur-unsur yang terdapat pada puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indra, susunan kata-kata kiasan, kepadatan dan sebagainya (Noor, 2009:25). Puisi dapat dikaji dalam struktur dan unsurnya, mengingat puisi merupakan struktur yang tersusun dari bermacam unsur dan sarana kepuistisannya (Pradopo, 2014:1). Struktur dalam puisi bersifat kompleks, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu bantu lain untuk analisisnya. Struktur puisi dapat dikaji dengan menganalisis unsur instrinsik atau struktural. Penulis menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis puisi ini serta menggunakan landasan teori lapis norma Roman Ingarden untuk mengungkap strukturalisme puisi. Penulis juga menggunakan teori stilistika untuk menganalisis makna dari puisi ini diciptakan.

1.    Pendekatan Pragmatik

Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman ataupun sepanjang zaman. Menurut Teeuw, 1994 teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik  memberi manfaat  terhadap pembaca,  pendekatan  pragmatik secara keseluruhan  berfungsi  untuk menopang  teori resepsi, teori sastra  yang memungkinkan  pemahaman  hakikat  karya sastra tanpa batas.

Pendekatan Pragmatik memberikan perhatian utama terhadap perananan pembaca, dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan Pragmatik dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Subjek pragmatik dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan pengarang berbagai objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaanya, pengarang merupakan subjek pencipta, tetapi secara terus-menerus, fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis. Pendekatan pragmatik dengan demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut. Secara historis ( Abrams, 1976:16 ) pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica ( Hoatius ). Meskipun demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi srukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis ,yaitu pembaca ( Mukarovsky ).

Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan pragmatik memliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyrakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya satra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya sastra tanpa batas. Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat di pecahkan melalui pendekatan pragmatis, diantaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Teori-teori postrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab samata-semata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khazanah kultural bangsa.

2.    Lapis Norma Roman Ingarden

Puisi ini memiliki struktur kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Lapis norma puisi saling berpengaruh satu dengan lainnya. Rene Wellek (1989:151) menjelaskan analisis Roman Ingarden dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk, ia menganalisis norma-norma dalam puisi menjadi seperti berikut:

1)    Lapis Bunyi

Bunyi dalam kesusastraan masa romantik dianggap sebagai kepuitisan yang utama. Berkaitan dengan pembacaan puisi yang dikaitkan dengan musik. Teori simbolisme mengemukan bahwa puisi tidak perlu memikirkan banyak arti. Melalui bunyi makna dan arti pada puisi dapat diterima dengan baik. Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut efoni sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu disebut kakafoni didominasi konsonan k, p, t dan s (Pradopo, 2007:27). Kakafoni dapat digunakan untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan dan kacau. Terdapat kombinasi bunyi-bunyi efoni, di antaranya yaitu:

a)    Kombinasi bunyi vokal (asonansi) terdiri dari huruf a, i, u, e dan o

b)    Kombinasi bunyi konsonan bersuara (voiced) terdiri dari huruf b, d, g dan j

c)    Kombinasi bunyi likuida terdiri dari huruf r dan l

d)    Kombinasi bunyi sengau terdiri dari huruf m, n, ng dan ny.

Kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi yang tepat sehingga bunyi yang dirangkaikan dalam sajak dapat menimbulkan kesan cerah atau sebaliknya. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang tercermin dalam kesatuan sajak.

2)    Lapis Arti (Unit of Meaning)

Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab dan seluruh cerita yang semuanya merupakan suatu satuan arti. Fonem berkembang menjadi kata, kata menjadi frase kemudian menjadi kalimat hingga membentuk sebuah bait yang memiliki arti.

Lapis arti terbagi atas kosa kata, citraan dan sarana retorika. Kosa kata, diksi dan konotasi merupakan kunci utama dalam lapis arti ini. kata-kata yang digunakan penyair merupakan kata berjiwa artinya kata tersebut memiliki arti yang berbeda dengan kamus dan membutuhkan pengolahan yang dalam untuk mengartikannya. Penyair membutuhkan pilihan kata yang tepat agat mendapat kepadatan dan intensitas puisi yang ia mau. Selain penyair, pembaca pun juga harus mengerti arti kamus, arti denotatif dan konotatifnya sehingga penyampaian isi dari penyair dapat ditangkap dengan baik (Pradopo, 2014:52-60).

3)    Lapis Ketiga

Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapisan yang ketiga, yaitu objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dan semuanya ditemukan dalam dunia pengarang (Pradopo, 2014:15). Lapis ketiga berkaitan dengan unsur struktural pembangun puisi.

4)    Lapis Keempat

Lapis norma keempat ialah “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan secara eksplisit, karena sudah terkandung di dalamnya (Pradopo, 2014:15). Lapis ini menjelaskan mengenai apa yang ditemukan dan yang tidak ditemukan atau hal tersirat yang berlawanan antara kata, kalimat, baris dan bait.

5)    Lapis Kelima (Metafisis)

Lapis kelima ialah lapisan metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Pradopo, 2014:15). Lapisan ini ditujukan untuk mengungkap maksud dari pengarang atas penciptaan puisinya.

Analisis lapis norma dibuat untuk mengetahui unsur pembentuk karya sastra. Rene Wellek (dalam Pradopo, 2014:19) mengkritik lapis norma Roman Ingarden dengan mengatakan bahwa analisis ini hanya mengungkap fenomena dalam puisi secara formal saja, nilai dalam puisi tidak dihubungkan dengan penilaian lainnya. Orang belum dapat memahami dan kandung nilai dalam puisi hanya dengan lapis norma Roman Ingarden.

3.    Teori Stilistika

Istilah “stilistika” diserap dari bahasa bahasa Inggris stylistics yang diturunkan dari kata style yang berarti ‘gaya’. Secara etimologi, istilah style atau gaya itu sendiri menurut Shipley (1979:314) dan Mikics (2007:288) berasal dari bahasa Latin stilus, yang berati ‘batang atau tangkai’, menyaran pada ujung pena yang digunakan untuk membuat tanda-tanda (tulisan) pada tanah liat yang berlapis lilin (metode kuno dalam menulis). Jadi, secara sederhana stilistika dapat diartikan sebagai ilmu tentang gaya bahasa.

            Penelitian stilistika penting untuk dilakukan dalam kerangka penelitian sastra karena stilistika memungkinkan kita mengidentifikasi ciri khas teks sastra (Wellek dan Warren, 1989:226; dan Bradford, 1997:xi). Selain itu, stilistika dapat memberikan manfaat bagi pembaca sastra, guru sastra, kritikus sastra, dan sastrawan. Stilistika dapat membantu pembaca sastra untuk lebih memahami seluk-beluk bahasa sastra, baik dari aspek bunyi, kata, kalimat, hingga wacana sastra. Guru sastra pun dapat memanfaatkan stilistika sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran sastra khususnya untuk mengajarkan pemaknaan puisi dari aspek bahasanya. Kritikus sastra dapat pula memanfaatkan stilistika sebagai salah satu alternatif teori dalam mengkaji/mengkritik karya sastra dari sudut pandang bahasanya. Sementara bagi sastrawan sebagai pencipta karya sastra, stilistika dapat memberikan kontribusi pemahaman tentang ragam bahasa sastra sehingga para sastrawan dapat lebih meningkatkan kualitas karya sastranya.

            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif. Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik.

BAB III

PEMBAHASAN

 

KARENA KATA

(Sapardi Djoko Damono)

 

Karena tak dapat kutemukan

Kata yang paling sepi

Kutelantarkan hati sendiri

 

Karena tak dapat kuucapkan

Kata yang paling rindu

Kubiarkan hasrat membelenggu

 

Karena tak dapat kuungkapkan

Kata yang paling cinta

Kupasrahkan saja dalam doa


A.   Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan pendidikan, moral, politik, agama, ataupun tujuan yang lain. Atau pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu hal yang dibuat atau diciptakan untuk mencapai atau menyampaikan efek-efek tertentu pada penikmat karya sastra, baik berupa efek kesenangan, estetika atau efek pengajaran moral, agama atau pendidikan dan efek-efek lainnya. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut bagi pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam karya sastra. Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan moral, agama maupun fungsi sosial lainnya.

Analisis pragmatik adalah pendekatan sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra itu sendiri. Dari analisis yang penulis peroleh dari respons beberapa pembaca dapat saya simpulkan bahwa puisi “Karena Kata” karya Sapardi Djoko Damono ini sangat menyentuh hati dan menarik pembaca untuk membaca puisi tersebut. Dalam puisi ini penyair mampu menggambarkan perasaan-perasaannya yang begitu mendalam sehingga tak mampu di ungkapkan dengan kata-kata yang ada, dan dia hanya bisa mencurahkan hanya lewat doa.

Dari beberapa pembaca rata-rata setelah membaca puisi tersebut perasaannya sangat sedih dan terharu karena sebagian pembaca memiliki pengalaman yang sama dengan apa yang digambarkan penyair dalam puisinya. Irama yang digunakan dalam puisi tersebut sangat tepat dalam penggalan katanya, sehingga tiap-tiap baitnya dapat tersusun secara baik dan terstruktur sehingga dapat menjadi sebuah puisi yang indah. Dan nilai positif dari puisi tersebut menurut pembaca adalah rasa berserah diri mungkin jalan terbaik atas segala apapun yang kita rasakan dan dengan cara memasrahkan segalanya pada untaian doa yang dipanjatkan kepada sang pencipta. Terakhir setelah pembaca atau responden membaca dan menganalisis puisi diatas semuanya berpendapat bahwa puisi tersebut dapat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua umur khususnya pelajar dan mahasiswa, karena puisi tersebut menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dipahami. Dapat dibuktikan juga bahwa puisi ini sangat mudah dipahami akan penulis analisis kembali menggunakan teori stilistika.

B.   Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Teori Roman Ingarden

1)    Analisis pertama menggunakan teori Roman Ingarden yaitu lapis bunyi. Lapis bunyi ini menggunakan analisis bunyi asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.

Ø  Pada bait pertama Asonansi dengan vokal:

(a) 14               (i) 5                  (u) 3                 (e) 5                 (o) –

Aliterasi dengan konsonan

(b) -                 (d) 2                 (g) 2                 (h) 1                 (k) 7

(p) 3                 (s) 2                 (t) 6

Bunyi Likuida

(r) 3                 (l) 2

Bunyi Sengau

(m) 1                (n) 7                 (ng) 1               (ny)-

 

Ø  Pada bait kedua

(a) 15               (i) 3                  (u) 5                 (e) 4                 (o) –

Aliterasi dengan konsonan

(b) 2                 (d) 1                 (g) 4                 (h) 1                 (k) 7

(p) 3                 (s) 1                 (t) 4

Bunyi Likuida

(r) 4                 (l) 2

Bunyi Sengau

(m) 2                (n) 7                 (ng) 2               (ny) –

 

Ø  Pada bait ketiga

(a) 19               (i) 2                  (u) 3                 (e) 1                 (o) 1

Aliterasi dengan konsonan

(b) -                  (d) 2                 (g) 3                 (h) 1                 (k) 8

(p) 4                 (s) 2                 (t) 4

Bunyi Likuida

(r) 2                  (l) 2

Bunyi Sengau

(m) 1                (n) 6                 (ng) 2               (ny) –

 

2)    Lapis Arti Puisi “Karena Kata”

Setiap diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh penyair. Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah satu ciri puisi. Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impres tertentu pada pembacanya. Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat, dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17). Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.

 

a.    Bait pertama dapat diartikan bahwa tiada kata yang dapat mewakili keadaan yang begitu sepi sehingga pengarang memutuskan untuk pasrah dengan hati yang terlantar.

b.    Bait kedua memiliki arti pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu, sehingga pengarang memutuskan untuk membiarkan hatinya terbelenggu.

c.      Bait ketiga dapat dimaknai bahwa kata cinta masih belum dapat mewakili perasaannya yang begitu mendalam, sehingga pengarang memasrahkan semuanya pada doa – doa yang dipanjatkan.

 

3)    Lapis Ketiga Puisi “Karena Kata”

Pada lapis ini mengungkapkan objek yang ada didalamnya, yaitu:

Subjek atau pelaku                 : Aku

Latar suasana                         : keadaan sepi dan penuh rindu

Dalam bait-bait diatas pengarang menggambarkan bahwa banyak sekali perasaan-perasaan yang tak mampu di ungkapkan dengan kata-kata. Yang pada akhirnya hanya ada perasaan pasrah dan doa yang terpanjat.

 

4)    Lapis Keempat Puisi “Karena Kata”

Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan bahwa banyak perasaan yang dirasakannya tak dapat diwakili dengan kata sehingga pengarang hanya pasrah dengan memanjatkan doa.

 

5)    Lapis Kelima Puisi “Karena Kata”

Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji. Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa rasa pasrah atau berserah diri merupakan jalan terbaik dari apa yang sedang kita rasakan. Pada baris terakhir puisi, pengarang menekankan pada sisi religius dengan menyerahkan semuanya pada Maha Pencipta dengan memanjatkan doa kepada sang pemberi kehidupan. “Kupasrahkan saja dalam doa”.

C.   Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Teori Stilistika

1.    Pada analisis puisi “Karena Kata” karya Sapardi Djoko Damono ini, penulis akan menjabarkan teori Stilistika yang terdapat pada puisi ini dengan menganalisisnya per-bait. Berikut merupakan penjabarannya:

a)    Pada bait pertama

“karena tak dapat kutemukan

Kata yang paling sepi

Kutelantarkan hati sendiri”

Dalam puisi ini terdapat majas hiperbola, yang si Aku ini menghiperbola kata dengan sepi (suasana) hingga si Aku ini menelantarkan hatinya sendiri karena si kekasih yang diharapkannya itu belum juga datang. Pada bait ini mengandung arti atau makna tiada kata yang dapat mewakili keadaan yang begitu sepi sehingga pengarang memutuskan untuk pasrah dengan hati yang terlantar.

 

b)    Pada bait kedua

“karena tak dapat kuucapkan

Kata yang paling rindu

Kubiarkan hasrat membelenggu”

Dalam puisi ini terdapat majas hiperbola, tokoh Aku dalam puisi ini menghiperbola kata rindu yang tidak sanggup dia ungkapkan atau dia sampaikan hingga rindu itu terus membelenggu atau terus mengikat perasaannya yang begitu dalam. Dalam bait ini mengandung arti atau makna pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu, sehingga pengarang memutuskan untuk membiarkan hatinya terbelenggu.

 

c)    Pada bait ketiga

“karena tak dapat kuungkapkan

Kata yang paling cinta

Kupasrahkan saja dalam doa”

Dalam bait ketiga puisi ini terdapat majas alegori yang menyandingkan objek dengan kata-kata kiasan. Dalam puisi ini si Aku menyandingkan kata doa yang dia pasrahkan dalam doa, yang membiarkan Tuhan yang menentukan akan dibawa kemana cinta si Aku ini. Dalam bait ini mengandung arti atau makna bahwa kata cinta masih belum dapat mewakili perasaannya yang begitu mendalam, sehingga pengarang memasrahkan semuanya pada doa – doa yang dipanjatkan.

 

2.    Citraan atau Imagery (gambaran angan-angan) dalam Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono

Citraan adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan digunakan dalam puisi untuk  memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran dalam pikiran dan penginderaan. Citraan yang terdapat dalam puisi ini adalah citraan pendengaran. Citra pendengaran (auditory imagery) adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citraan ini terdapat pada kata

Ø  Kata yang paling sepi

Ø  Karena tak dapat kuucapkan

Ø  Karena tak dapat kuungkapkan


BAB IV

PENUTUP

A.   Simpulan

Karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978: 16). Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis. Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra sendiri dipandang sebagai media atau sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan dari pembacanya. Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Karena Kata”. Sapardi terkenal dengan karya-karyanya yang sangat sederhana, simple tetapi sangat menyentuh perasaan ketika seseorang membacanya. Karya Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.

DAFTAR PUSTAKA

Noor, Redyanto. 2010. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

 

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University

                  Press.

 

Senja, Gadis. 2016. Kumpulan Puisi. Diambil dari http://kumpulanpuisiyangkusukai.blogspot.com/2016/12/karena-kata.html

 

Warsiman. 2017. Pengantar Pembelajaran Satra. Malang: UB Press.

 

Wicaksana, Andri. 2014. Catatan Ringkasan Stilistika. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca.

 

ARGUMEN MENGENAI KASUS HILANGNYA TOLERANSI UMAT BERAGAMA DI YOGYAKARTA DALAM RANAH FILSAFAT ILMU

 

Dalam hal ini kasus yang akan saya ungkap yaitu kasus tentang intoleransi antar umat beragama di Indonesia khususnya di daerah Yogyakarta. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika menyebut Yogyakarta semakin kehilangan semangat toleransi. Maraknya kasus penutupan rumah ibadah menjadi catatan buruk pelanggaran hak beribadah di daerah ini. Kasus intoleransi pada 2015 hingga Maret 2016 paling banyak terjadi di Kabupaten Sleman. Contoh kasusnya di antaranya penutupan tempat ibadah, pelarangan aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan tempat ibadah, dan larangan melakukan diskusi di kampus. Kabupaten Bantul menjadi wilayah kedua terjadinya intoleransi setelah Sleman. Contohnya adalah penutupan pondok pesantren Waria Al-Fattah di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, yang baru-baru ini terjadi. Setelah Bantul, Gunung Kidul menjadi daerah terjadinya kasus intoleransi. Misalnya ada kasus penyegelan dan penutupan paksa gereja. Kelompok intoleran pada 2016 kerap melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap kegiatan diskusi tentang Syiah, tragedi 1965, dan diskusi lintas agama. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mencatat pada 2015 setidaknya terdapat 15 kasus intoleransi. Dari total kasus intoleransi, yang paling banyak adalah pemerintah tidak memberi izin pendirian rumah ibadah. Tidak adanya izin ini terjadi akibat desakan kelompok intoleran.

Dalam hal ini praktik atau implementasi untuk menyikapi masalah tersebut dengan hasil belajar filsafat yaitu dengan menggunakan dasar bahwa dalam filsafat diajarkan untuk berfikir secara esensial yaitu cara berfikir yang mengarah pada inti permasalahannyamatau pada akar permasalahannya. Syarat untuk berfikir ini yaitu cukup berfikir secara logis dan rasional, maksudnya menegakkan fungsi akal dalam menghadapi masalah. Dalam kasus diatas dapat menggunakan cara berfikir ini karena cara pikir ini menggunakan cara yang logis dan masuk akal sehingga permasalahan yang diangkat juga bisa terselesaikan dengan damai tanpa ada yang perlu diperdebatkan lagi soal ketidakadilan. Apalagi menyangkut soal agama yang notabennya negara ini memiliki berbagai macam agama, dan dalam kasus diatas sangat dianjurkan untuk menggunakan cara berfikir secara esensial ini supaya tidak terjadi kasus intoleransi antar umat beragama di Indonesia.  Dan selain esensial ada juga cara berfikir secara normatif juga bisa di implementasikan dalam kasus ini, berfikir yang intinya suatu cara memahami setiap persoalan yang tidak sebatas pada hal-hal yang faktawi saja melainkan ada hal yang seharusnya. Dengan syarat pertimbangan rasional, ilmiah atau objektif. Pandangan ini berdasarkan etik, norma dan agama. Dalam kasus ini dapat dipakai pendekatan ini karena pendekatan ini mengacu pada religi seperti pada kasus diatas yang mengusung tentang keagamaan. Pada halnya sebagai negara yang terdiri dari berbagai macam umat beragama, secara kode etik atau norma yang berlaku seharusnya bisa menumbuhkan sikap saling menghargai perbedaan yang ada karena setiap orang berhak memilih agamanya sendiri dan lebih bisa bertoleransi terhadap apa yang mereka pilih. Untuk itu sangat diperlukan ilmu pengetahuan tentang filsafat supaya kita sebagai orang yang berilmu dapat mengetahui cara untuk mengatasi dan menerapkan apa yang sudah kita pelajari dalam filsafat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA

 

A.    LATAR BELAKANG DAN PENGERTIAN

Cita-cita nasional Indonesia telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 Alenia ke II, maka rumusan tujuan nasional ada pada Alenia IV. Selain itu bangsa Indonesia juga memiliki kepentingan nasional sebagai syarat untuk mewujudkan tujuan nasional. Adapun kepentingan nasional yang mendasar bagi bangsa Indonesia ialah upaya menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa dan segenap aspek kehidupan nasional.

1.      Latar Belakang Historis Munculnya Konsepsi Wawasan Nusantara

Konsepsi tentang nusantara sebagai kesatuan wilayah mulai muncul sejak  Indonesia mengumumkan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, yang berisi tuntutan : pertama, lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mildan kedua, bentuk geografi Indonesia adalah kepulauan dengan sifat dan corak tersendiri (konsepsi negara kepulauan).

2.      Unsur Dasar Pemikiran Wawasan Nusantara

Ada tiga faktor yang menjadi dasar pemikiran wawasan nusantara yaitu : yang pertama, geografis, geopolitik dan geostrategis; kedua yaitu historis dan yuridis formal; ketiga yaitu kepentingan nasional.

a.       Geografis, Geopolitik, Geostrategis

1)      Keadaan Geografis

-          Panjang wilayah mencakup 1/8 gari khatulistiwa.

-          Jarak terjauh Utara-Selatan kurang lebih 1.888 Km, sedangkan jarak terjauh Barat-Timur kurang lebih 5.110 Km.

-          Terletak diantara 6 derajat LU – 11 derajat LS dan 95 derajat BT – 141 derajat BT.

-          Jumlah pulau ada 17.508 buah (yang memiliki nama baru 6.044).

-          Luas wilayah seluruhnya adalah 5.193.250 km2, dan pengairan 3.166.163 km2.

-          Tanahnya mengandung kekayaan alam yang potensial.

-          Jumlah penduduknya dengan tahun 2000 kurang lebih 220 juta jiwa.

-          Distribusi penduduk tidak merata.

2)      Geopolitik

Geopolitik mempelajari fenomena politik dari aspek geografi, sedangkan ilmu bumi politik mempelajari fenomena geografi dari aspek politik.

-          Wawasan Bahari

Sir Walter Raleigh, seorang bangsawan Inggris di abad ke-16 mengemukakan sebuah dalil : “siapa menguasai lautan, dia menguasai kekayaan-kekayaan dunia dan dengan itu dia menguasai dunia itu sendiri”.

-          Wawasan Benua

Sir Halford Mackinder mengemukakan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai teori daerah jantung. Daerah jantung tersebut meliputi wilayah yang membentang dari Jerman sampai Siberia Tengah.

-          Wawasan Kombinasi

Wawasan kombinasi merupakan integrasi dari beberapa wawasan, saat ini dianut oleh banyak negara yang pelaksanaanya disesuaikan dengan keperluan da kondisi setempat.

-          Wawasan Geopolitik

Ketika di akhir Abad 19 teori evolusi Darwin, metodelogi IPA dan biologi sedang populer di Eropa, maka banyak cabang ilmu lain yang kemudian mengetrapkannya. Seorang ahli geografi mengembangkan sebuah teori yang dikenal sebagai teori ruang.

-          Wawasan Dirgantara

Teori ini baru muncul setelah perang dunia berkat tulisan Guilio Douher (1869-1930). Sesuai dengan ideologi pancasila, bangsa Indonesia mengembangkan geopolitik tersendiri yang tidak ekspansionis dan tanpa unsur kekerasan.

3)      Geostrategis Indonesia

-          Demografi, Asia (Utara) berpenduduk padat dan Australia (Selatan) jarang.

-          Ideologi antara komunisme di utara dan liberalisme di selatan.

-          Politik, antara demokrasi rakyat di utara dan demokrasi parlemen di selatan.

-          Ekonomi, antara sistem ekonomi terpusat di utara dan sistem ekonomi liberal di selatan.

-          Sosial, antara sosialisme diutara dan individualisme di selatan.

-          Budaya, antara budaya timur di utara dan budaya barat di selatan.

-          Militer, antara sistem pertahanan kontinental diutara dan maritim di selatan.

 

b.      Landasan Historis dan Yuridis Formal

Pada saat NKRI terbentuk di tahun 1945, batas wilayah Indonesia di laut masih mengacu pada Ordonasi Tahun 1939 kolonian Hindia Belanda. Apabila diteliti hakikat, motif dan perkembangan mereka, jelas bahwa semua itu adalah dalam rangka memperluas lebar laut teritorial dengan ruang udara diatasnya secara terselubung. 

c.       Kepentingan Nasional

Dalam perwujudannya Wawasan Nusantara akan berupa suatu gejala atau fenomena sosial yang bergerak/bekerja menyelenggarakan dan menjamin kelangsungan hidup seluruh bangsa dan negara Indonesia. Salah satu kepentingan nasional tersebut merupakan turunan lanjut dari cita-cita, visi dan tujuan nasional.

B.     Kedaulatan Negara di Laut, Ruang Udara dan GSO

1.      Sejarah Perkembangan Hukum Laut Dunia

Sejak berabad-abad lalu dunia telah diwarnai oleh perdebatan tentang masalah hukum laut Internasional. Ada dua konsepsi pokok, yaitu :

a.       Res Nullius, yang beranggapan bahwa laut tidak ada yang memiliki, sehingga dapat diambil atau dimiliki oleh siapapun.

b.      Res Communius, yang beranggapan bahwa laut adalah milik masyarakat dunia dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara.

Pada tahun 1939 pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO) mengenai batas teritorial di laut. Dikarenakan tidak ada acuan lain, maka konsep Van Bynkershoek menjadi satu-satunya acuan. Saat itu lebar laut teritorial Hindia Belanda ditetapkan sejauh 3 mil, diukur dari titik terendah saat air laut surut. Ketentuan tersebut terus berlaku hingga Indonesia merdeka.

2.      Perjuangan RI Menegakkan Kedaulatan di Laut

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Ordonansi 1939 dirasa sangat merugikan, karena wilayah Indonesia menjadi terpecah-pecah. Antara pulau yan satu dengan pulau yang lain diantarai oleh selat yang merupakan laut bebas (laut Internasional), sehingga kapal-kapal asing bisa bebas berlalu-lalang. Sampai dengan tahun 1993 UNCLOS (The United Nation Convention on Law of the Sea) 1982 telah di ratifikasi oleh 60 negara dan sejak 16 Novermber 1994 menjadi hukum positif. Bagi Indonesia berlakunya UNCLOS 1982 memberi banyak keuntungan, yaitu makin bertambah luasnya perairan yurisdiksi nasional berikut kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dan terbukanya peluang untuk memanfaatkan laut sebagai media transportasi. Namun demikian disisi lain dengan semakin luasnya wilayah maka potensi kerawanan pun akan bertambah besar. Setelah batas teritorial di laut dikukuhkan oleh UNCLOS 1982 perjuangan Indonesia berikutnya ialah menegakkan kedaulatan di dirgantara atau wilayah Indonesia secara vertikal, khususnya dalam rangka memanfaatkan wilayah GSO (Geo Stationery Orbit).

3.      Kedaulatan Negara di Ruang Udara

Masalah ruang udara tampaknya telah menjadi persoalan jauh sebelum “ruang udara” dijadikan lintas penerbangan. Permasalahan baru muncul setelah manusia mulai mampu menggunakan ruang udara bagi kegiatan penerbangan. Khayalan tentang kendaraan angkasa seperti halnya helikopter di masa sekarang muncul pertama kali pada abad 15 dalam lukisan seniman besar Renaissance, Leonardo da Vinci. Sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, maka sejak akhir abad ke-19 orang mulai mempersoalkan tentang bebas tidaknya ruang udara. Selain dipicu oleh penggunaan balon udara untuk kepentingan militer, masalah itu juga timbul karena baik balon udara maupun pesawat terbang memerlukan ruang udara (air space) dan gas udara (gaseous air). Artinya manusia tidak mungkin melakukan penerbangan “di luar” ruang udara. Disini lalu muncul berbagai teori tetang kedaulatan di ruang udara, disusul oleh konvensi-konvensi menentukan batas teritorial ruang udara.

a.       Berbagai Teori tentang Kedaulatan Negara di Ruang Udara

Terdapat dua teori tentang kedaulatan ruang udara , yaitu :

1)      Teori Udara Bebas (The Air Freedom Theory)

Penganut teori ini berpendapat karena sifatnya, maka udara itu bebas. Mereka membedakan menjadi tiga aliran yaitu :

a.       Kebebasan ruang udara tanpa batas. Pendapat ini dianut oleh kaum Publicist, diantaranya Wheaton. Bluntschli, Stephan dan Nys, yang mendasarkan pendiriannya pada pendapat :

-          Seperti halnya lautan, udara merupakan suatu unsur menjadi milik bersama segala makhluk di dunia.

-          Tidak ada suatu negara yang dapat melaksanakan penguasaan terhadap udara.

-          Pada hakikatnya arus-arus udara memasuki wilayah negara secara tidak sah, cara meninggalkannya pun juga tidak bergantung dari kehendak dan keadaan negara kolong.

-          Udara merupakan suatu unsur yang tidak mungkin menjadi pemilikan atau kedaulatan.

b.      Kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa ha khusus negara kolong (subjacent state) . aliran ini berpendapat bahwa secara fisik udara tidak dapat dijadikan objek pemilikan, karena tidak dapat secara terus-menerus dikuasai atau diduduki oleh siapapun. Sebagai contoh, suatu negara dapat melakukan kedaulatannya terhadap padang pasir yang luas dan terpencil, asal saja dia dapat menjamin keamanan dan kemudian mengawasinya.

c.       Kebebasan ruang udara, kemudian diadakan semacam wilayah teritorial atau zone di daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan. Prinsipnya, udara adalah bebas, tetapi negara kolong mendapat hak khusus untuk mencegah penggunaan ruang udara oleh negara lain dengan sewenang-wenang sehingga membahayakan negara kolong tersebut.

2)      Teori Negara Berdaulat di Ruang Udara (The Air Souvereignity Theory)

Penganut teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga aliran yaitu :

a.       Negara kolong (subjacent state) berdaulat penuh hanya terhadap suatu ketinggian tertentu.

b.      Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai (freedom of innocent passage) bagi navigasi pesawat udara asing.

c.       Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas (up to the sky) .

b.        Beberapa Konvensi Hukum Udara

1)      Konvensi Paris (1919)

Awal abad ke 20 di Eropa balon-balon udara bebas berterbangan dari negara satu ke negara lain, tergantung arah angin bertiup. Tahun 1909 Bleriot, seorang Prancis bahkan melakukan pnerbangan yang menggemparkan, yakni melintasi Selat Calais dan mendarat di Inggris. Prancis merasa terganggu dengan adanya balon-balon bebas yang melintas maupun mendarat bebas di negerinya, sejak tahun 1908 mulai mempermasalahkannya. Ketika permintaannya agar pihak militer Jerman menertibkan para penerbangannya tidak ditanggapi, Perancis lalu mengundang sejumlah negara Erropa untuk membicarakannya.

2)      Konvensi Chiacago

Menjelang Perang Dunia II sejumlah maskapai penerbangan milik Belanda dapat dikatakan telah menguasai jaringan penerbangan komersial d seluruh dunia. Sementara itu, keunggulan AU sekutu selama perang dunia II, nampaknya membuat merekan ingin mengatur kembali konvensi sesuai dengan kepentingan mereka. Niat itu mendorong diselenggarakannya Konvensi di Chicago tahun 1944.

Polemik diseputar kedaulatan negara dan masalah ruang udara (air space) rumusan Konvensi Chicago 1994 itu melahirkan beberapa teori tentang kedaulatan negara diruang udara sebagai berikut :

a.       Penafsiran Ruang Udara Negara Secara Logika Yuridhis

Dua hal yang disoroti oleh teori ini, yang pertama istilah airspace, dan kedua aircraft. Kedua istilah itu ternyata menimbulkan banyak penafsiran khususnya terkait dengan batas ketinggian dan kedaulatan negara di ruang udara.

b.      Teori Penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory)

Tahun 1951 Cooper mengajukan teori bahwa kedaulatan negara di ruang udara ditentukan oleh kemampuan negara yang bersangkutan dalam menguasai ruang udara yang ada di atas wilayahnya. Alesannya, jiwa dan isi Konvensi Chicago 1944 tidak pernah membatasi perluasan kedaulatan negara di ruang udara sampai ke daerah “di atas” atmosfir.

c.       Teori Ruang Udara Schater (Schachter’s Air Space Theory)

Menurut Schater, kedaulatan negara diruang udara hanya terbatas di daerah dimana penerbangan dapat dilakukan dengan pesawat udara yang dikemudikan oleh manusia (navigable airspace).

d.      Penafsiran Kedaulatan Negara Pasca-Sputnik I

Tanggal 4 Oktober 1957 dunia digemparkan oleh keberhasilan Uni Soviet meluncurkan pesawat Sputnik I ke ruang angkasa. Kejadian itu menambah keyakinan bahwa suatu saat manusia akan sanggup melakukan penerbangan antar planet. Perubahan paradigma tersebut memunculkan berbagai pendapat atau teori sebagai berikut :

-          Teori Bin Cheng

Yang membagi ruang penerbangan (flight space) secara fisik menjadi dua, yaitu ruang udara (air space) dan ruang angkasa (outher space)

-          Teori Cooper

Merevisi pendapatnya terdahulu, Cooper membagi ruang udara menjadi tiga zone, yaitu : pertama ruang udara (airspace) atau ruang udara teritorial, yang kedua ruang udara tambahan (contiguous airspace), dan ketiga yaitu ruang bebas bagi segala macam penerbangan oleh negara manapun.

-          Mc Dougal yang berpendapat bahwa hapir sama dengan Cooper menyarankan adanya konsep jalan tengah.

-          Jessup dan Taubenfeld. Dua tokoh ini mengemukakan adanya dua cara untuk mengukur luas wilayah kedaulatan di ruang udara, yaitu :

·         Model Kerucut, yakni dengan menarik garis lurus dari titik pusat bumi melalui perbatasan negara di daratan lurus ke angkasa.

·         Model Cerobong, yaitu dengan cara menarik garis-garis yang sejajar dengan garis lurus yang ditarik dari pusat bumi ke titik pusat di wilayah negara melalui perbatasan-perbatasan negara di daratan dan lautan menuju ke angkasa.

-          Haley’s Unanimity Theory berkeyakinan bahwa hukum selalu mendahului manusia di angkasa.

-          Pepin, Goedhuis dan Aaranson berpendapat bahwa untuk menetapkan istilah ruang udara perlu ditentukan perbatasan antara ruang udara dan ruang angkasa.

4.      Perjuangan RI Menegakkan Kedaulatan Negara di GSO

Setelah peluncura satelit telekomunikasi Palapa A-1 di tahun 1976 di susul oleh satelit-satelit generasi selanjutnya secara berkesinambungan, maka Indonesia mulai memasuki era pemanfaatan teknologi ruang angkasa yang saat ini penting arinya bagi perwujudan Doktrin Nusantara. Satelit tersebut di tempatkan pada satu orbit yang di sebut GSO . hanya di GSO inilah satelit bisa berfungsi, di liar itu satelit tidak berfungsi. Secara teknis GSO merupakan sumber daya alam yang terbatas (limites natural resources), karena hanya dapat ditempati oleh benda-benda angkasa dalam jumlah terbatas. Untuk mengukuhkan integritas kedaulatan wilayah di GSO, Indonesia telah melakukan beberapa upaya antara lain melalui :

a.       Deklarasi Bogota 1976

Dalam pertemuan di Bogota, Klumbia tahun 1976 yang dihadiri oleh 7 negara khatulistiwa dicapai kesepakatan yang kemudian di tuangkan dalam satu deklarasi. Intinya mereka mengajukan atas GSO diatas wilayah teritorial mereka. Tuntutan itu bukan bersifat kewilayahan (territorial claim), tetapi sebagai reaksi terhadap ketidakadilan dalam pemanfaatan GSO.

b.      Pertemuan Quito (Ekuador) 1982

Pertemuan ini tidak berhasil mengeluarkan suatu deklaraso, tetapi hanya final minutes yang terdiri dari 6 prinsip, antara lain bahwa tuntutan negara-negara khatulistiwa terrhadap GSO merupakan tuntutan “hak-hak kelangsungan hidup” yang harus dilaksanakan melalui penerapan prinsip hukum sui generis bagi GSO.

c.       Konferensi Unispace II Tahun 1982

Dalam konferensi Unispace II di Wina tahun 1982, negara-negara katulistiwa kembali mengusulkan dibentuknya rejim hukum sui generis bagi GSO dibawah pengaturan PBB atau ITU serta diberikannya hak berdaulat atas GSO bagi mereka.

d.      Pertemuan Nairobi 1982

Dalam pertemuan ITU di Nairobi, Kenya, rumusan pasal 32 (2) Konvensi ITU 1973 diubah dan dinyatakan bahwa dalam rangka pemanfaatan GSO secara lebih efektif dan ekonomis harus senantiasa memperhatikan negara-negara yang membutuhkan bantuan, negara yang sedang berkembang dan negara khusus katulistiwa.

e.       Pertemuan Sub Komite Hukum UN-COPUOS 1983, 1984, dan 1985

Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan Unispace II 1982 di Wina. Di situ dibahas masalah pengaturan GSO melalui rezim hukum sui generis dengan menganalogikannya pada rejim ZEE dalam hukum laut.

f.        World Administrative Radio Conference 1985

Pertemuan ini membahas apriori planning dalam pemanfaatan GSO, yaitu suatu upaya yang memungkinkan setiap negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemanfaatan GSO tanpa memandang tingkat perkembangan ekonomi maupun IPTEK-nya. Tanggal 26 November 1979 Indonesia mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai “Posisi Dasar RI 1979” yang berisi :

1)      Pengakuan bahwa GSO merupakan sumber daya alam terbatas yang memiliki ciri-ciri khusus.

2)      Pengakuan hak berdaulat negara-negara khatulistiwa.

3)      Hak berdaulat tersebut hanya untuk tujuan yang ditentukan misalnya, untuk kepentingan rakyat negara khatulistiwa dan masyarakat internasional, untuk mencegah kejenuhan GSO, dan untuk mencegah akibat yang dapat merugikan kepentingan negara katulistiwa.

4)      Transit bebas untuk satelit-satelit yang telah disetujui ITU dalam penerbangan gravitasi diluar GSO.

C.     Ajaran Dasar Wawasan Nusantara

1.      Pengertian Wawasan Nusantara

Dilatarbelakangi oleh teori tentang wawasan, falsafah Pancasila, aspek kewilayahan, sosial budaya dan kesejarahan, maka muncul berbagai rumusan tentang konsepsi Wawasan Nusantara sebagai berikut :

a.       Berdasarkan TAP MPR RI Tahun 1993 dan 1999 tentang GBHN, wawasan nusantara ialah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta wilayah.

b.      Menurut Prof. Dr. Wan Usman (Ketua Program S-2 PKN UI) wawasan nusantara ialah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara dengan semua aspek kehidupan yang beragam.

c.       Menurut Kelopok Kerja Wawasan Nusantara dari Lemhannas tahun 1999, wawasan nusantara ialah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis.

d.      Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik bangsa Indonesia adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap mengormati kebhinekaan dalam setiap aspek.

2.      Unsur Dasar Konsepsi Wawasan Nusantara

Konsepsi wawasan nusantara terdiri dari tiga unsur dasar, yaitu wadah (contour), isi (content), dan tata laku (conduct) yang ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut,

a.       Wadah (contour)  

Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ialah seluruh “Tanah Tumpah Darah”. Wawasan nusantara sebagai wadah memiliki tiga komponen, yaitu wujud wilayah, tata inti organisasi dan tata kelengkapan organisasi.

b.      Isi (content)

Isi wawasan nusantara tercermin dalam perspektif kehidupan manusia Indonesia dalam eksistensinya, yang meliputi cita-cita bangsa dan asas manunggal yang terpadu.

c.       Tata Laku (conduct)

Tata laku wawasan nusantara mencakup dua segi yaitu, tata laku batiniah untuk membentuk sikap mental bangsa, yang meliputi cipta, rasa dan krasa. Dan tata laku lahiriah yang merupakan kekuatan utuh, dalam arti kemanunggalan kata dan karya, keterpaduan antara ucapan dan perbuatan.

3.      Hakikat Wawasan Nusantara

Hakikat wawasan nusantara ialah “keutuhan nusantara atau nasional”, dalam pengertian : cara pandang yang selalu utuh dan menyeluruh dalam lingkup nusantara dan demi kepentingan nasional.

4.      Asas Wawasan Nusantara

Asas wawasan nusantara ialah ketemtuan atau kaidah dasar yang harus dipatuhui, ditaati, dipelihara dan diciptakan, demi ketaatan setiap komponen dan unsur pembentuk bangsa (suku atau golongan) terhadap kesepakatan bersama. Adapun rinciannya ialah kepentingan yang sama, keadilan, kejujuran, solidaritas, kerjasama, dan kesetiaan kepada kesepakatan bersama.

5.      Arah Pandang

Dengan latar belakang budaya, sejarah serta kondisi dan konstelasi geografi dan lingkungan strategis, maka wawasan nusantara mempunyai dua arah pandang yaitu arah pandang kedalam  yang bertujuan menjamin perwujudan persatuan segenap aspek kehidupan nasional baik alamiah maupun sosial. Arah pandang ke luar ditunjukan untuk terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah.

6.      Kedudukam, Fungsi dan Tujuan

a.       Kedudukan

1)      Wawasan nusantara sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia adalah suatu ajaran yang diyakini keberadaannya oleh seluruh rakyat.

2)      Wawasan nasional dalam paradigma nasional dapat dilihat dari stratifikasinya yaitu pancasila sebagai falsafah dan ideologi nasional, UUD 1945 berkedudukan sebagai Konstitusional, wawasan nasional sebagai visi nasional, ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional, dan GBHNsebagai politik dan strategi nasional.

b.      Fungsi

Wawasan Nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijakan, keputusan tindakan dan perbuatan, baik bagi penyelenggara negara tingkat pusat dan daerah, maupun bagi seluruh rakyat atau masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c.       Tujuan

Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala bidang/aspek kehidupan rakyat Indonesia, demi tercapainya tujuan nasional.

D.    Implementasi Wawasan Nusantara

Sebagai cara pandang dan visi nasional, wawasan nusantara harus dijadikan arahan, pedoman, acuan, dan tuntunan bagi setiap individu bangsa Indonesia. oleh karena itu, implementasinya harus tercermin pada pola pikir, sikap, dan tindakan yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.

1.      Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila

Falsafah pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa yang sesuai dengan aspirasinya. Dengan demikian, wawasan nusantara menjadi pedoman bagi upaya mewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional guna menjamin persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa serta untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.

2.      Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional

a.       Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik

1)      Kebulatan wilayah dengan segala isinya merupakan modal dan milik bersama bangsa Indonesia.

2)      Keanekaragaman suku, budaya, bahasa daerah, dan agama yang dianut, tetap dalam kesatuan Indonesia.

3)      Secara psikologis bangsa Indonesia merasa satu persaudaraan, senasib, dan sepenanggungan, sebangsa dan setanah air untuk mencapai cita-cita yang sama.

4)      Pancasila merupakan falsafah dan ideologi pemersatu bangsa Indonesia yang membimbing ke arah dan tujuan dan cita-cita yang sama.

5)      Kehidupan politik di seluruh wilayah nusantara merupakan sistem hukum nasional.

6)      Seluruh kepulauan nusantara bersama bangsa-bangsa lain menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi.

b.      Perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan ekonomi

1)      Kekayaan wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa.

2)      Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di seluruh daerah.

3)      Kehidupan perekonomian diseluruh wilayah nusantara diselenggarakan sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.

 

c.       Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan sosial budaya

1)      Masyarakat Indonesia adalah satu bangsa yang harus memiliki kehidupan serasi dengan tingkat kemajuan yang merata dan seimbang.

2)      Budaya Indonesia pada hakekatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa.

d.      Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan

1)      Ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya adalah ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.

2)      Tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.

3.      Penerapan Wawasan Nusantara

a.       Salah satu manfaat paling nyata dari penerapan Wawasan Nusantara ialah diterimanya konsepsi Wawasa Nusantara di forum internasional, sehingga integritas wilayah teritorial Indonesia terjamin.

b.      Pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup itu menghasilkan sumber daya alam yang cukup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.

c.       Pertambahan luas wilayah itu dapat diterima oleh dunia Internasional termasuk negara-negara tetangga.

d.      Penerapan wawasan nusantara dalam pembangunan nasional diberbagai bidang tampak pada berbagai proyek sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi

e.       Penerapan dibidang sosial budaya terlihat pada kebijakan untuk menjadikan bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika tetap merasa sebangsa, setanah air, senasib sepenanggungan denga asas Pancasila.

f.        Penerapan wawasan nusantara dibidang Hankam terlihat pada kesiapsiagaan dan kewaspadaan seluruh rakyat.

4.      Hubungan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional

Dalam proses pembangunan nasional, bangsa Indonesia akan dihadapkan pada berbagai kendala dan ancaman. Untuk mengatasinya perlu dibangun suatu kondisi kehidupan nasional yang disebut Ketahanan Nasional. Wawasan Nusantara sebagai pedoman bagi pencapaian tujuan nasional, tidak akan ada artinya jika tanpa didukung oleh Ketahanan Nasional yang tangguh. Oleh karena itu diperlukan suatu konsepsi Ketahanan Nasional yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.