Dalam hal ini kasus yang akan saya ungkap
yaitu kasus tentang intoleransi antar umat beragama di Indonesia khususnya di
daerah Yogyakarta. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika menyebut Yogyakarta
semakin kehilangan semangat toleransi. Maraknya kasus penutupan rumah ibadah
menjadi catatan buruk pelanggaran hak beribadah di daerah ini. Kasus
intoleransi pada 2015 hingga Maret 2016 paling banyak terjadi di Kabupaten
Sleman. Contoh kasusnya di antaranya penutupan tempat ibadah, pelarangan
aktivitas ibadah, tidak dikeluarkannya izin mendirikan tempat ibadah, dan
larangan melakukan diskusi di kampus. Kabupaten Bantul menjadi wilayah kedua
terjadinya intoleransi setelah Sleman. Contohnya adalah penutupan pondok
pesantren Waria Al-Fattah di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan
Banguntapan, Bantul, yang baru-baru ini terjadi. Setelah Bantul, Gunung Kidul
menjadi daerah terjadinya kasus intoleransi. Misalnya ada kasus penyegelan dan
penutupan paksa gereja. Kelompok intoleran pada 2016 kerap melakukan intimidasi
dan kekerasan terhadap kegiatan diskusi tentang Syiah, tragedi 1965, dan
diskusi lintas agama. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mencatat pada 2015
setidaknya terdapat 15 kasus intoleransi. Dari total kasus intoleransi, yang
paling banyak adalah pemerintah tidak memberi izin pendirian rumah ibadah.
Tidak adanya izin ini terjadi akibat desakan kelompok intoleran.
Dalam hal ini praktik atau implementasi
untuk menyikapi masalah tersebut dengan hasil belajar filsafat yaitu dengan
menggunakan dasar bahwa dalam filsafat diajarkan untuk berfikir secara esensial
yaitu cara berfikir yang mengarah pada inti permasalahannyamatau pada akar
permasalahannya. Syarat untuk berfikir ini yaitu cukup berfikir secara logis
dan rasional, maksudnya menegakkan fungsi akal dalam menghadapi masalah. Dalam
kasus diatas dapat menggunakan cara berfikir ini karena cara pikir ini
menggunakan cara yang logis dan masuk akal sehingga permasalahan yang diangkat
juga bisa terselesaikan dengan damai tanpa ada yang perlu diperdebatkan lagi
soal ketidakadilan. Apalagi menyangkut soal agama yang notabennya negara ini
memiliki berbagai macam agama, dan dalam kasus diatas sangat dianjurkan untuk
menggunakan cara berfikir secara esensial ini supaya tidak terjadi kasus
intoleransi antar umat beragama di Indonesia.
Dan selain esensial ada juga cara berfikir secara normatif juga bisa di
implementasikan dalam kasus ini, berfikir yang intinya suatu cara memahami
setiap persoalan yang tidak sebatas pada hal-hal yang faktawi saja melainkan
ada hal yang seharusnya. Dengan syarat pertimbangan rasional, ilmiah atau
objektif. Pandangan ini berdasarkan etik, norma dan agama. Dalam kasus ini
dapat dipakai pendekatan ini karena pendekatan ini mengacu pada religi seperti
pada kasus diatas yang mengusung tentang keagamaan. Pada halnya sebagai negara
yang terdiri dari berbagai macam umat beragama, secara kode etik atau norma
yang berlaku seharusnya bisa menumbuhkan sikap saling menghargai perbedaan yang
ada karena setiap orang berhak memilih agamanya sendiri dan lebih bisa
bertoleransi terhadap apa yang mereka pilih. Untuk itu sangat diperlukan ilmu
pengetahuan tentang filsafat supaya kita sebagai orang yang berilmu dapat
mengetahui cara untuk mengatasi dan menerapkan apa yang sudah kita pelajari
dalam filsafat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar