Pendahuluan
Bahasa
adalah sistem simbol-simbol bunyi ujaran yang arbitrer yang digunakan oleh
masyarakat sebagai alat untuk berinteraksi sesuai dengan keseluruhan pola
budaya (Trager dalam Sibarani, 2004: 36). Bahasa tidak pernah lepas dari
manusia sebagai pengguna bahasa yang melakukan interaksi sosial. Menurut
Sibarani (2004: 37) bahasa memiliki tiga sifat, yaitu bahasa sebagai sistem
tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok
manusia atau masyarakat. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan sebagai alat
komunikasi di masyarakat menciptakan adanya keterkaitan bahasa dengan budaya.
Kebudayaan merupakan
kompleks dari nilai-nilai dan gagasan manusia terhadap lingkungannya. Setiap
daerah atau bahkan setiap negara itu memiliki tradisi-tradisi yang
berbeda-beda, sekalipun terdapat tradisi yang di bawa dari luar daerah yang
ditempati namun pasti adanya asimilasi budaya dan/atau akulturasi budaya dalam
daerah tersebut. Maka, ketika suatu tradisi di suatu masyarakat itu berkembang,
maka tradisi itu menjadi menjadi jati diri suatu bangsa atau menjadi identitas
tersendiri yang menandakan ciri khas suatu bangsa. Sedangkan suatu kelompok
yang meyakini akan suatu tradisi di lingkungannya dan masih mempertahankan
kelangsungan serta menjaga tradisi itu disebut etnik.
Studi ini mengkaji pemakaian bahasa
dalam upacara tradisi Tedhak Siten
yang ada di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal menggunakan ancangan etnolinguistik.
Etnolinguistik berasal dari kata etnologi yang berarti ilmu yang mempelajari tentang
suku-suku dan linguistik berarti ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk bahasa
keseharian manusia atau ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9). Menurut Kridalaksana
(1983:42), etnolinguistik adalah (1) cabang linguistik yang menyelidiki
hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum
mempunyai tulisan, bidang ini juga disebut linguistik antropologi; (2) cabang
linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap kebahasaan
terhadap bahasa.
Bapak
ilmu bahasa modern Ferdinand de Saussure mengemukakan bahwa hubungan antara
bentuk dan makna bersifat arbitrer dan konvensional. Sifat arbitrer mengandung
pengertian tidak ada hubungan klausal, logis, alamiah atau historis, dsb.
antara bentuk dan makna itu. Sementara itu, konvensional menyarankan bahwa
hubungan antara bentuk dan kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi
atau kesepakatan bersama. Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep
dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense),
dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di
luar bahasa yang disebut referen (referent).
Namun, tidak semua kata yang memiliki makna mempunyai referen. Makna bersifat
umum dan tidak tertentu, sedangkan referen bersifat tertentu.
Tradisi
Jawa yang sampai sekarang masih hidup dan dilestarikan keberadaannya adalah
tradisi Tedhak Siten atau Mudun Lemah yang ada di Desa Lumansari,
Kabupaten Kendal. Pelaksanaan tradisi Tedhak
Siten atau Mudun Lemah di Desa Lumansari,
Kabupaten Kendal terdiri dari beberapa rangkaian yang di dalamnya terdapat
bermacam-macam sesajen untuk
mendukung upacara tradisi tersebut. Studi
ini memfokuskan pada istilah-istilah sesajen
dalam tradisi Tedhak Siten. Adapun ruang lingkup tulisan ini mencakup: (1) menjelaskan makna
leksikal dan makna kultural istilah-istilah sesajen
dalam tradisi Tedhak Siten di Desa
Lumansari, Kabupaten Kendal; (2)
menjelaskan identitas pengguna bahasa dan fungsi bahasa istilah- istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten di Desa
Lumansari, Kabupaten Kendal.
Tinjauan
Pustaka
Ina
Dinawati (2010), meneliti Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Merti Desa di
Desa Dadapayam Kecamatan Suruh (Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang mendeskripsikan rangkaian upacara, bentuk
sesaji, dan makna istilah dalam tradisi merti dusun yang terdapat di Desa
Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Hasil temuan menunjukkan
keseluruhan rangkaian upacara tradisi merti dusun yaitu nawu kali, beleh kebo, jolenan, dan wayangan, beserta sesaji yang digunakan. Istilah-istilah sesaji
dalam merti dusun di Desa Dadapayam memiliki tiga bentuk kebahasaan yaitu
istilah yang termasuk monomorfemis terdapat 27 istilah, istilah yang termasuk
bentuk polimorfemis terdapat 6 istilah dan istilah bentuk frasa terdapat 19
istilah. Keseluruhan istilah sesaji ada 52 istilah. Analisis makna
istilah-istilah sesaji dalam merti desa menghasilkan makna leksikal dan makna
kultural. Penelitian Ina berbeda dengan peneliti. Perbedaan terletak pada titik
pengamatan dan objek penelitian.
Septi
Luqmanawati (2016), meneliti tentang Leksikon Tradisi Nglarung Rawa di Rawa
Pening Kecamatan Banyubiru (Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif yang mendeskripsikan bentuk leksikon, makna leksikon, dan
cerminan kebudayaan yang terdapat dalam tradisi Nglarung Rawa di Rawa Pening.
Hasil penelitian ini merupakan leksikon berupa kata dasar dan frasa.
Berdasarkan klasifikasi bentuk, makna, serta cerminan budaya dari leksikon yang
diklasifikasikan berdasarkan aktivitas, alat, makanan, dan tempat. Penelitian
Septi berbeda dengan peneliti. Penelitian Septi mengambil objek leksikon
tradisi Nglarung Rawa, sedangkan peneliti mengambil objek tradisi tedhak siten di Desa Lumansari,
Kabupaten Kendal.
Sholikah
Lina (2016), meneliti tentang Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Dhekahan
Dhusun di Dusun Mangurrejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali (Suatu
Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
mendeskripsikan bentuk, makna leksikal dan makna kultural, fungsi istilah sesaji dalam
tradisi dhekahan dhusun di Dusun
Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Hasil
penelitian ini berupa (1) terdapat tiga bentuk yaitu dua puluh istilah
berbentuk monomorfemis, dan tiga belas istilah berbentuk polimorfemis; (2)
makna yang terdapat dalam bentuk sesaji tradisi dhekahan dhusun yaitu makna
leksikal dan makna kultural; (3) fungsi tradisi dhekahan dhusun di Dusun
Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali yaitu fungsi religius,
fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi kultural. Penelitian
Sholikah berbeda dengan peneliti. Perbedaan terletak pada titik pengamatan dan
objek penelitian. Peneliti mengambil objek tradisi tedhak siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Lumansari, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak, yaitu
menyimak penggunaan bahasa yang dipakai oleh informan. Teknik dasar menggunakan
teknik pancing. Peneliti dengan strateginya berusaha
memancing pengguna bahasa agar mau berbicara sesuai dengan apa yang diharapkan
dan dapat memperoleh data. Teknik lanjutan cakap semuka
(CS), yaitu teknik mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara melakukan
percakapan langsung dengan sumber data (informan). Teknik rekam dan teknik
catat adalah teknik lanjutan yang digunakan untuk menyadap/merekam pemakaian
istilah-istilah, khususnya istilah sesajen
dalam tradisi Tedhak Siten.
Analisis data menggunakan metode padan dan metode distribusional. Metode
penyajian hasil analsis data menggunakan metode deksriptif informal.
Pembahasan
Masyarakat Jawa adalah salah satu
suku di Indonesia yang memiliki beraneka ragam tradisi. Salah satu tradisi
tersebut adalah tradisi Tedhak Siten atau Mudun Lemah
yang ada di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal. Tradisi ini biasanya
dilakukan pada waktu anak berumur tujuh lapan (7x35 hari) atau 8 bulan. Tedhak siten berasal dari dua kata “tedhak" berarti menampakkan kaki
dan “siten” berasal dari
kata "siti" yang berarti bumi. Tedhak siten
merupakan tradisi yang adiluhung, karena dimaksudkan sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Sang Maha Pencipta atas kelahiran anak tercinta melalui upacara
khusus, yaitu tradisi Tedhak Siten.
Tradisi ini merupakan adat kebiasaan masyarakat Jawa asli yang sarat dengan
nilai-nilai spiritual. Selain itu juga sebagai bentuk penghormatan kepada bumi
tempat si kecil mulai belajar menginjakkan kakinya ke tanah dengan diiringi
doa-doa dari orangtua dan sesepuh sebagai pengharapan agar kelak si anak bisa
sukses dan mandiri dalam menjalani kehidupannya di masa depan.
Pelaksanaan tradisi Tedhak Siten atau Mudun lemah
di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal terdiri dari beberapa rangkaian yang di
dalamnya terdapat bermacam-macam sesajen untuk
mendukung upacara tradisi tersebut. Rangkaian upacara terdiri dari 6 urutan,
yaitu midhak jadah pitung werno, munggah
undhak-undhakan, midhak pasir, dikurungi, nyebar beras kuning, dan ngadusi. Sesajen yang digunakan memiliki makna leksikal dan makna kultural
yang sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat. Selain itu terdapat
pelaku atau identitas pengguna bahasa dan fungsi bahasa salam tradisi Tedhak Siten.
1.
Makna
Leksikal Istilah-istilah Sesajen dalam
Tradisi Tedhak Siten
Makna leksikal adalah
arti sebuah kata yang sebenarnya atau arti yang semua orang memiliki pandangan
yang sama tentang kata tersebut. Makna leksikal Istilah-istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten adalah sebagai berikut:
(1)
Tumpeng
[tumpəŋ]
Nasi yang dibentuk
kerucut disertai lauk pauk serta aneka sayuran. Tumpeng terdiri dari nasi putih, telur, ikan asin, urap, cabe
merah, dll.
(2)
Ingkung
[iŋkuŋ]
Ingkung
adalah
salah satu sesaji yang yang berupa ayam kampung
yang dimasak utuh dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam.
(3)
[dhuwit]
Dhuwit
adalah
uang yang digunakan untuk sesaji, berupa uang receh dan uang lembaran.
(4)
Urap-urapan
[urap-urapan]
Urap-urap
adalah
aneka sayur yang dimasak (direbus) dan dicampur
dengan bumbu kelapa parut yang memiliki citarasa yang khas.
(5)
Undhak-Undhakan
[undha?-undha?an]
Undhak-undhakan
adalah sebuah tangga yang terbuat
dari dari
batang tebu wulung dan dihiasi kertas warna- warni untuk perlengkapan tedhak siten.
(6)
Jadah
putih [jadah putIh]
Jadah
putih adalah makanan yang berasal dari beras ketan.
(7)
Jadah
biru [jadah biru]
Jadah
biru adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna
biru.
(8)
Jadah
ijo [jadah
ijo]
Jadah
ijo adalah
makanan dari beras ketan yang diberi warna hijau.
(9)
Jadah
oren [jadah orɛn]
Jadah
oren
adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna oranye.
(10) Jadah abang [jadah abaŋ]
Jadah
abang adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna
merah.
(11) Jadah kuning [jadah kuniŋ]
Jadah
kuning adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna
kuning.
(12) Jadah ireng [jadah ireŋ]
Jadah
ireng adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna
hitam.
(13) Banyu gege [banyu
gɛgɛ]
Banyu
gege adalah air yang sudah diberi mantra atau doa.
(14) Iwak lele [iwa?
lele]
Iwak
lele adalah ikan air tawar yang digunakan sebagai lauk
dalam sesaji.
(15) Gereh pethek [gerɛh pɛthɛ?]
Gereh
pethek adalah ikan asin yang sudah dikeringkan, digunakan
sebagai lauk dalam sesaji.
(16) Bubur abang putih [bubur abaŋ putih]
Bubur
abang putih adalah bubur yang berwarna merah dan
putih. Warna merah/coklat berasal dari gula jawa.
(17) Beras kuning [beras
kuniŋ]
Beras
kuning adalah beras yang berwarna kuning, digunakan untuk
sesaji.
(18) Jenang baro-baro baro [jenaŋ barɔ-barɔ]
Jenang baro-baro adalah
jenang yang terbuat dari beras yang dicampur
gula Jawa. Jenang ini biasanya disajikan dalam mangkok kemudian di atasnya
ditaburi kelapa parut dan irisan gula Jawa.
(19) Jajan pasar [jajan
pasar]
Jajan pasar adalah makanan tradisional yang diperjualbelikan di
pasar, seperti bikang, lapis, lemper, lumpia, nagasari, onde-onde, risoles,
dll.
(20) Kembang setaman [kembaŋ setaman]
Kembang
setaman adalah sejumlah bunga yang terkumpul dalam bungkusan
daun pisang. Isinya adalah mawar merah, bunga melati, cempaka putih atau yang
sering disebut dengan kembang kantil, kenanga dan irisan pandan wangi.
(21) Kurungan ayam [kuruŋan ayam]
Kurungan
ayam adalah tempat untuk mengurung ayam, biasanya berbahan
dasar bambu.
(22) Alat sekolah (buku, pensil) [alat
sekolah]
Alat
sekolah adalah segala perlengkapan yang digunakan untuk
sekolah/belajar, seperti buku, pensil, dll.
(23) Barang berharga (kalung, gelang) [baraŋ berharga]
Barang
berharga adalah barang atau perlengkapan yang bernilai tinggi,
seperti kalung, gelang, dll.
2.
Makna
Kultural Istilah-istilah Sesajen dalam
Tradisi Tedhak Siten
Makna kultural adalah
arti yang hanya dimengerti suatu lingkup terbatas yang memiliki suatu pandangan
tertentu tentang suatu kata, atau arti dan sebuah kata atau sesuatu yang hanya
ada dalam keyakina mereka yang telah mendarah daging secara turun-temurun.
Makna kultural istilah-istilah sesajen dalam
tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari,
Kabupaten Kendal adlaah sebagai berikut:
(1)
Tumpeng
[tumpəŋ]
Makna kultural tumpeng bagi masyarakat Desa Lumansari
menganggap bahwa tumpeng melambangkan
permohan orang tua kepada sang Maha Pencipta agar si anak kelak menjadi anak
yang berguna, sayur kacang panjang bermakna simbol umur agar si anak berumur
panjang, sayur kangkung bermakna dimanapun si anak hidup dia mampu tumbuh dan
berkembang, sayur kecambah merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan
kelak si anak dapat hidup mandiri.
(2)
Ingkung
[iŋkuŋ]
Ingkung
merupakan
simbol penyembahan kepada Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang
tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar.
(3)
Dhuwit
[dhuwit]
Dhuwit
adalah
uang yang digunakan untuk sesaji, berupa uang receh dan uang lembaran. Uang
menyimbolkan rejeki dan kesejahteraan. Uang yang dibagi-bagikan sang anak
melambangkan bahwa kita sebagai manusia harus selalu berbagi atau sedekah
kepada sesama.
(4)
Urap-urapan
[urap-urapan]
Urap-urapan
yang
berisi sayuran antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih
dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga
mengandung symbol-simbol antara lain: kangkung berarti jinangkung yang berarti
melindung, tercapai. Bayam (bayem) berarti ayem tentrem, taoge/cambah yang
berarti tumbuh, kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/inovatif,
brambang (bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu
dengan matang baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol
dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain.
Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya. Bumbu urap
berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.
(5)
Undhak-Undhakan
[undha?-undha?an]
Undhak-undhakan
adalah tangga yang terbuat dari tebu
jenis arjuna, yaitu tangga yang dibuat dari batang tebu wulung dan dihiasi
kertas warna- warni. Hal ini dimaksudkan agar dalam menapaki (menjalani)
hidupnya, apa yang di lakukan seorang anak diharapkan semakin meningkat dan
mampu melewati halangan dan rintangan hidupnya kelak.
(6)
Jadah putih [jadah
putIh]
Warna putih memiliki arti kesucian , setelah mimijak
warna tersebut si anak diharapkan dapat memiliki kesucian hati kelak di
kemudian hari.
(7)
Jadah biru [jadah
biru]
Warna biru memilliki arti kesetiaan, setelah mimijak
warna tersebut, diharapkan si anak memiliki sifat setia di masa yang akan
datang.
(8)
Jadah ijo [jadah
ijo]
Warna hijau melambangkan
kehidupan, diharapkan si anak memiliki kehidupan dan masa depan yang cerah.
(9)
Jadah
oren [jadah orɛn]
Warna oranye melambangkan
matahari, diharapkan si anak menjadi berkat dan terang bagi orang-orang
sekitar, bangsa dan negara.
(10) Jadah abang [jadah abaŋ]
Warna merah memiliki arti
keberanian, si anak dituntun untuk mimijak warna tersebut , agar si anak yang
melakukan upacara tedhak siten tersebut
memiliki keberanian untuk menjalani kehidupannya kelak.
(11) Jadah kuning [jadah kuniŋ]
Warna kuning memiliki arti kekuatan , setelah bayi
memijak warna tersebut diharapkan si bayi dapat memiliki kekuatan dalam
menjalankan hidupnya.
(12) Jadah ireng [jadah ireŋ]
Warna hitam mimiliki arti
kecerdasan , setelah memijak warna tersebut diharapkan si bayi dapat memiliki
kecerdasan di kemudian hari.
(13) Banyu gege [banyu
gɛgɛ]
Banyu gege bertujuan agar si anak tetap sehat, membawa nama
harum bagi keluarga, punya kehidupan yang layak, makmur dan berguna bagi nusa
bangsa.
(14) Iwak lele [iwa?
lele]
Ikan lele tahan
hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan
symbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi
yang paling bawah sekalipun.
(15) Gereh pethek [gerɛh pɛthɛ?]
Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung
atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu
bergerombol dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong, sehingga
untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa
semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan
dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
(16) Bubur abang putih [bubur abaŋ putih]
Merah
melambangkan sel telur dan putih melambangkan sperma.
Karenanya penyajian bubur merah putih bersamaan
dalam satu mangkuk. Melambangkan sel telur dan sperma bertemu lalu melahirkan
manusia baru. Dalam tedhak siten, bubur
abang putih bertujuan agar si anak menjadi manusia baru yang berbakti, berguna,
dan memiliki masa depan yang cerah.
(17) Beras kuning [beras
kuniŋ]
Beras
kuning memilki makna adanya rasa saling tolong menolong dan menghargai makhluk
Tuhan yang lainnya sebagai bakti kita terhadap bumi.
(18) Jenang baro-baro [jenaŋ barɔ-barɔ]
Jenang baro-baro merupakan hidangan sebagai simbol
untuk meminta pada Tuhan Yang Maha Esa agar si anak diberi keselamatan.
(19) Jajan pasar [jajan
pasar]
Jajan pasar
adalah lambang dari sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturrahmi), lambang
kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam
barang, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan anak-anak, sekar
setaman, rokok dan sebagainya. Tujuannya agar si anak memiliki nilai
kemanusiaan yang tinggi.
(20) Kembang setaman [kembaŋ setaman]
Kembang setaman menyimbolkan
keharuman. Hal ini agar si anak mampu membawa nama harum atau nama baik keluarga
di kemudian hari dan bertujuan agar ia dapat menjalani kehidupan yang bersih
dan lurus.
(21) Kurungan ayam [kuruŋan ayam]
Kurungan ayam diibaratkan sebagai simbol dunia. Kurungan itu berisi aneka
macam mainan dan peralatan, seperti gelang, kalung, uang, hp, stateskop, buku,
dan sebagainya. Anak disuruh mengambil barang yang di
sukainya. Dimana barang yang dipilih si anak merupakan gambaran dari kegemaran
dan juga pekerjaan yang diminatinya kelak setelah dewasa.
(22) Alat sekolah (buku, pensil) [alat
sekolah]
Alat sekolah sebagai
simbol ketika si anak sudah bersekolah, akan niat dan semangat untuk menuntut
ilmu dan menggapai masa depan.
(23) Barang berharga (kalung, gelang) [baraŋ berharga]
Barang
berharga sebagai simbol dan harapan kelak di kemudian hari si
anak menjadi seorang yang berkecukupan dan makmur hidupnya.
3.
Identitas Pengguna Bahasa dan Fungsi Bahasa Istilah- istilah Sesajen dalam Tradisi Tedhak Siten
Identitas pengguna bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari,
Kabupaten Kendal adalah seluruh lapisan masyarakat, baik dari strata ekonomi
rendah hingga tinggi, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta tidak
memandang tingkat pendidikan. Pelaku upacara tradisi Tedhak Siten adalah orang tua atau keluarga dari anak tersebut. Selain
orang tua anak, upacara ini juga dihadiri oleh kakek-nenek, saudara-saudara
dekat dan para pinisepuh sebagai tamu terhormat.
Fungsi bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal adalah fungsi representasional, yaitu bahasa yang
bertujuan untuk mengambarkan maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan
tersebut bisa berupa fakta dan pengetahuan, menjelaskan suatu peristiwa,
melaporkan sesuatu, serta lain- lainnnya. Fungsi representasional
menjelaskan maksud dan tujuan dari upacara dan istilah-istilah sesajen yang digunakan dalam tradisi Tedhak Siten. Setiap sesajen yang digunakan dalam tradisi
tersebut memiliki makna dan tujuan masing-masing sebagai wujud penghormatan dan
harapan orang tua agar si anak kelak siap dan sukses menapaki kehidupan.
Simpulan
Terdapat enam rangkaian upacara yang ada dalam tradisi
tedhak siten, yaitu: midhak jadah pitung werno, munggah
undhak-undhakan, midhak pasir, dikurungi, nyebar beras kuning, dan ngadusi. Rangkaian upacara tersebut
menggunakan sesajen sebagai simbol
penghormatan kepada leluhur. Keseluruhan istilah sesajen dalam tradisi tedhak
siten adalah 23 istilah. Sesajen yang
digunakan antara lain: tumpeng, ingkung,
dhuwit, urap-urapan, undhak-undhakan, jadah putih, jadah biru, jadah ijo, jadah
oren, jadah abang, jadah kuning, jadah ireng, banyu gege, iwak lele, gereh
pethek, bubur abang putih, beras kuning, jenang baro-baro, jajan pasar, kembang
setaman, kurungan ayam, alat sekolah, dan barang berharga.
Ditinjau dari segi makna, istilah-istilah sesajen dalam Tedhak Siten terdapat dua makna kebahasaan, yaitu makna leksikal
dan makna kultural. Makna leksikal diperoleh dari kamus dan dilihat langsung
wujud konkretnya atau arti yang semua orang memiliki pandangan yang sama
tentang kata tersebut. Makna kultural diperoleh dari informan dan jurnal
penelitian terdahulu yang terkait langsung dengan Tedhak Siten sebagai kearifan sosial masyarakat.
Identitas pengguna bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari,
Kabupaten Kendal adalah seluruh lapisan masyarakat, baik dari strata ekonomi
rendah hingga tinggi, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta tidak
memandang tingkat pendidikan. Pelaku tradisi ini adalah orang tua atau keluarga
dari anak tersebut, kekek-nenek, saudara dekat dan para pinisepuh.
Fungsi bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal adalah fungsi
representasional, yaitu bahasa yang bertujuan untuk menggambarkan maksud dan
tujuan tertentu. Fungsi ini menjelaskan maksud dan tujuan dari upacara dan
istilah-istilah sesajen yang
digunakan dalam tradisi Tedhak Siten oleh
masyarakat di Desa Lumansari.
Daftar
Pustaka
Brendes,
Adam. 2019. Budaya Tedak Siten (Mudun Lemah). https://eprints.uny.ac.id/51240/17/HANDOUT%20TEDAK%20FOLIO.pdf.
Diakses 3 Juni 2020 pukul 10.19
Chaer, Abdul.2009.Pengantar Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dinawati, Ina. 2010. Istilah-istilah Sesaji dalan Tradisi
Merti Desa di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang (Kajian
Etnolinguistik). Skripsi Universitas Sebelas Maret.
Jourdan, Christine dan Kevin Tuite. 2006. Language. Culture.
and Society. Key Topics in Linguistic Anthropology. Cambridge University Press.
2006.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Tedhak Siten. https://belajar.kemdikbud.go.id/PetaBudaya/Repositorys/TedhakSinten/#:~:text=Tradisi%20Tedhak%20siten%20diperuntukkan%20bagi,sesepuh%20dan%20saudara%2Dsaudara%20dekatnya. Diakses 3 Juni
2020.
Lina, Sholikah. 2016. Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi
Dhekahan Dhusun di Dusun Mangurrejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten
Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik). Tesis Universitas Sebelas Maret.
Luqmanawati, Septi. 2016. Leksikon Tradisi Nglarung Rawa di
Rawa Pening Kecamatan Banyubiru (Kajian Etnolinguistik). Skripsi Universitas
Negeri Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar