Rabu, 28 Oktober 2020

ISTILAH-ISTILAH SESAJEN DALAM TRADISI TEDHAK SITEN DI DESA LUMANSARI , KABUPATEN KENDAL

Pendahuluan

Bahasa adalah sistem simbol-simbol bunyi ujaran yang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat sebagai alat untuk berinteraksi sesuai dengan keseluruhan pola budaya (Trager dalam Sibarani, 2004: 36). Bahasa tidak pernah lepas dari manusia sebagai pengguna bahasa yang melakukan interaksi sosial. Menurut Sibarani (2004: 37) bahasa memiliki tiga sifat, yaitu bahasa sebagai sistem tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi di masyarakat menciptakan adanya keterkaitan bahasa dengan budaya.

Kebudayaan merupakan kompleks dari nilai-nilai dan gagasan manusia terhadap lingkungannya. Setiap daerah atau bahkan setiap negara itu memiliki tradisi-tradisi yang berbeda-beda, sekalipun terdapat tradisi yang di bawa dari luar daerah yang ditempati namun pasti adanya asimilasi budaya dan/atau akulturasi budaya dalam daerah tersebut. Maka, ketika suatu tradisi di suatu masyarakat itu berkembang, maka tradisi itu menjadi menjadi jati diri suatu bangsa atau menjadi identitas tersendiri yang menandakan ciri khas suatu bangsa. Sedangkan suatu kelompok yang meyakini akan suatu tradisi di lingkungannya dan masih mempertahankan kelangsungan serta menjaga tradisi itu disebut etnik.

Studi ini mengkaji pemakaian bahasa dalam upacara tradisi Tedhak Siten yang ada di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal menggunakan ancangan etnolinguistik. Etnolinguistik berasal dari kata etnologi yang berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku dan linguistik berarti ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk bahasa keseharian manusia atau ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9). Menurut Kridalaksana (1983:42), etnolinguistik adalah (1) cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan, bidang ini juga disebut linguistik antropologi; (2) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap kebahasaan terhadap bahasa.

Bapak ilmu bahasa modern Ferdinand de Saussure mengemukakan bahwa hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer dan konvensional. Sifat arbitrer mengandung pengertian tidak ada hubungan klausal, logis, alamiah atau historis, dsb. antara bentuk dan makna itu. Sementara itu, konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk dan kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan bersama. Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense), dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut referen (referent). Namun, tidak semua kata yang memiliki makna mempunyai referen. Makna bersifat umum dan tidak tertentu, sedangkan referen bersifat tertentu.

Tradisi Jawa yang sampai sekarang masih hidup dan dilestarikan keberadaannya adalah tradisi Tedhak Siten atau Mudun Lemah yang ada di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal. Pelaksanaan tradisi Tedhak Siten atau Mudun Lemah di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal terdiri dari beberapa rangkaian yang di dalamnya terdapat bermacam-macam sesajen untuk mendukung upacara tradisi tersebut.  Studi ini memfokuskan pada istilah-istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten. Adapun ruang lingkup tulisan ini mencakup: (1) menjelaskan makna leksikal dan makna kultural istilah-istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal; (2) menjelaskan identitas pengguna bahasa dan fungsi bahasa istilah- istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal.

Tinjauan Pustaka

     Ina Dinawati (2010), meneliti Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Merti Desa di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh (Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mendeskripsikan rangkaian upacara, bentuk sesaji, dan makna istilah dalam tradisi merti dusun yang terdapat di Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Hasil temuan menunjukkan keseluruhan rangkaian upacara tradisi merti dusun yaitu nawu kali, beleh kebo, jolenan, dan wayangan, beserta sesaji yang digunakan. Istilah-istilah sesaji dalam merti dusun di Desa Dadapayam memiliki tiga bentuk kebahasaan yaitu istilah yang termasuk monomorfemis terdapat 27 istilah, istilah yang termasuk bentuk polimorfemis terdapat 6 istilah dan istilah bentuk frasa terdapat 19 istilah. Keseluruhan istilah sesaji ada 52 istilah. Analisis makna istilah-istilah sesaji dalam merti desa menghasilkan makna leksikal dan makna kultural. Penelitian Ina berbeda dengan peneliti. Perbedaan terletak pada titik pengamatan dan objek penelitian.

Septi Luqmanawati (2016), meneliti tentang Leksikon Tradisi Nglarung Rawa di Rawa Pening Kecamatan Banyubiru (Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mendeskripsikan bentuk leksikon, makna leksikon, dan cerminan kebudayaan yang terdapat dalam tradisi Nglarung Rawa di Rawa Pening. Hasil penelitian ini merupakan leksikon berupa kata dasar dan frasa. Berdasarkan klasifikasi bentuk, makna, serta cerminan budaya dari leksikon yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas, alat, makanan, dan tempat. Penelitian Septi berbeda dengan peneliti. Penelitian Septi mengambil objek leksikon tradisi Nglarung Rawa, sedangkan peneliti mengambil objek tradisi tedhak siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal.

Sholikah Lina (2016), meneliti tentang Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Dhekahan Dhusun di Dusun Mangurrejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mendeskripsikan bentuk, makna leksikal dan makna kultural, fungsi  istilah sesaji dalam tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.  Hasil penelitian ini berupa (1) terdapat tiga bentuk yaitu dua puluh istilah berbentuk monomorfemis, dan tiga belas istilah berbentuk polimorfemis; (2) makna yang terdapat dalam bentuk sesaji tradisi dhekahan dhusun yaitu makna leksikal dan makna kultural; (3) fungsi tradisi dhekahan dhusun di Dusun Mangurejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali yaitu fungsi religius, fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi kultural. Penelitian Sholikah berbeda dengan peneliti. Perbedaan terletak pada titik pengamatan dan objek penelitian. Peneliti mengambil objek tradisi tedhak siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal.

Metode Penelitian

            Penelitian ini dilakukan di Desa Lumansari, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa yang dipakai oleh informan. Teknik dasar menggunakan teknik pancing. Peneliti dengan strateginya berusaha memancing pengguna bahasa agar mau berbicara sesuai dengan apa yang diharapkan dan dapat memperoleh data.  Teknik lanjutan cakap semuka (CS), yaitu teknik mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara melakukan percakapan langsung dengan sumber data (informan). Teknik rekam dan teknik catat adalah teknik lanjutan yang digunakan untuk menyadap/merekam pemakaian istilah-istilah, khususnya istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten. Analisis data menggunakan metode padan dan metode distribusional. Metode penyajian hasil analsis data menggunakan metode deksriptif informal.

Pembahasan

Masyarakat Jawa adalah salah satu suku di Indonesia yang memiliki beraneka ragam tradisi. Salah satu tradisi tersebut adalah tradisi Tedhak Siten atau Mudun Lemah yang ada di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal. Tradisi ini  biasanya dilakukan pada waktu anak berumur tujuh lapan (7x35 hari) atau 8 bulan. Tedhak siten berasal dari dua kata “tedhak" berarti menampakkan kaki dan “siten” berasal dari kata "siti" yang berarti bumi. Tedhak siten merupakan tradisi yang adiluhung, karena dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta atas kelahiran anak tercinta melalui upacara khusus, yaitu tradisi Tedhak Siten. Tradisi ini merupakan adat kebiasaan masyarakat Jawa asli yang sarat dengan nilai-nilai spiritual. Selain itu juga sebagai bentuk penghormatan kepada bumi tempat si kecil mulai belajar menginjakkan kakinya ke tanah dengan diiringi doa-doa dari orangtua dan sesepuh sebagai pengharapan agar kelak si anak bisa sukses dan mandiri dalam menjalani kehidupannya di masa depan.

Pelaksanaan tradisi Tedhak Siten atau Mudun lemah di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal terdiri dari beberapa rangkaian yang di dalamnya terdapat bermacam-macam sesajen untuk mendukung upacara tradisi tersebut. Rangkaian upacara terdiri dari 6 urutan, yaitu midhak jadah pitung werno, munggah undhak-undhakan, midhak pasir, dikurungi, nyebar beras kuning, dan ngadusi. Sesajen yang digunakan memiliki makna leksikal dan makna kultural yang sesuai dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat. Selain itu terdapat pelaku atau identitas pengguna bahasa dan fungsi bahasa salam tradisi Tedhak Siten.

1.      Makna Leksikal Istilah-istilah Sesajen dalam Tradisi Tedhak Siten

Makna leksikal adalah arti sebuah kata yang sebenarnya atau arti yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut. Makna leksikal Istilah-istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten adalah sebagai berikut:

(1)     Tumpeng [tumpəŋ]

Nasi yang dibentuk kerucut disertai lauk pauk serta aneka sayuran. Tumpeng terdiri dari nasi putih, telur, ikan asin, urap, cabe merah, dll.

(2)     Ingkung [iŋkuŋ]

Ingkung adalah salah satu sesaji yang yang berupa ayam kampung yang dimasak utuh dan diberi bumbu opor, kelapa dan daun salam. 

(3)     [dhuwit]

Dhuwit adalah uang yang digunakan untuk sesaji, berupa uang receh dan uang lembaran.

(4)     Urap-urapan [urap-urapan]

Urap-urap adalah aneka sayur yang dimasak (direbus) dan dicampur dengan bumbu kelapa parut yang memiliki citarasa yang khas.

(5)     Undhak-Undhakan [undha?-undha?an]

Undhak-undhakan adalah sebuah tangga yang terbuat dari dari batang tebu wulung dan dihiasi kertas warna- warni untuk perlengkapan tedhak siten.

(6)     Jadah putih [jadah putIh]

Jadah putih adalah makanan yang berasal dari beras ketan.

(7)     Jadah biru [jadah biru]

Jadah biru adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna biru.

(8)     Jadah ijo [jadah ijo]

Jadah ijo adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna hijau.

(9)     Jadah oren [jadah orɛn]

Jadah oren adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna oranye.

(10) Jadah abang  [jadah abaŋ]

Jadah abang adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna merah.

(11) Jadah kuning  [jadah kuniŋ]

Jadah kuning adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna kuning.

(12) Jadah ireng  [jadah ireŋ]

Jadah ireng adalah makanan dari beras ketan yang diberi warna hitam.

(13) Banyu gege [banyu gɛgɛ]

Banyu gege adalah air yang sudah diberi mantra atau doa.

(14) Iwak lele [iwa? lele]

Iwak lele adalah ikan air tawar yang digunakan sebagai lauk dalam sesaji.

(15) Gereh pethek  [gerɛh pɛthɛ?]

Gereh pethek adalah ikan asin yang sudah dikeringkan, digunakan sebagai lauk dalam sesaji.

(16) Bubur abang putih  [bubur abaŋ putih]

Bubur abang putih adalah bubur yang berwarna merah dan putih. Warna merah/coklat berasal dari gula jawa.

(17) Beras kuning [beras kuniŋ]

Beras kuning adalah beras yang berwarna kuning, digunakan untuk sesaji.

(18) Jenang baro-baro baro [jenaŋ barɔ-barɔ]

Jenang baro-baro adalah jenang yang terbuat dari beras yang dicampur gula Jawa. Jenang ini biasanya disajikan dalam mangkok kemudian di atasnya ditaburi kelapa parut dan irisan gula Jawa.

(19) Jajan pasar [jajan pasar]

Jajan pasar adalah makanan tradisional yang diperjualbelikan di pasar, seperti bikang, lapis, lemper, lumpia, nagasari, onde-onde, risoles, dll.

(20) Kembang setaman [kembaŋ setaman]

Kembang setaman adalah sejumlah bunga yang terkumpul dalam bungkusan daun pisang. Isinya adalah mawar merah, bunga melati, cempaka putih atau yang sering disebut dengan kembang kantil, kenanga dan irisan pandan wangi.

(21) Kurungan ayam [kuruŋan ayam]

Kurungan ayam adalah tempat untuk mengurung ayam, biasanya berbahan dasar bambu.

(22) Alat sekolah (buku, pensil) [alat sekolah]

Alat sekolah adalah segala perlengkapan yang digunakan untuk sekolah/belajar, seperti buku, pensil, dll.

(23) Barang berharga (kalung, gelang) [baraŋ berharga]

Barang berharga adalah barang atau perlengkapan yang bernilai tinggi, seperti kalung, gelang, dll.

2.      Makna Kultural Istilah-istilah Sesajen dalam Tradisi Tedhak Siten

Makna kultural adalah arti yang hanya dimengerti suatu lingkup terbatas yang memiliki suatu pandangan tertentu tentang suatu kata, atau arti dan sebuah kata atau sesuatu yang hanya ada dalam keyakina mereka yang telah mendarah daging secara turun-temurun. Makna kultural istilah-istilah sesajen dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal adlaah sebagai berikut:

(1)     Tumpeng [tumpəŋ]

Makna kultural tumpeng bagi masyarakat Desa Lumansari menganggap bahwa tumpeng melambangkan permohan orang tua kepada sang Maha Pencipta agar si anak kelak menjadi anak yang berguna, sayur kacang panjang bermakna simbol umur agar si anak berumur panjang, sayur kangkung bermakna dimanapun si anak hidup dia mampu tumbuh dan berkembang, sayur kecambah merupakan simbol kesuburan dan ayam mengartikan kelak si anak dapat hidup mandiri.

(2)     Ingkung [iŋkuŋ]

Ingkung merupakan simbol penyembahan kepada Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar.

(3)     Dhuwit [dhuwit]

Dhuwit adalah uang yang digunakan untuk sesaji, berupa uang receh dan uang lembaran. Uang menyimbolkan rejeki dan kesejahteraan. Uang yang dibagi-bagikan sang anak melambangkan bahwa kita sebagai manusia harus selalu berbagi atau sedekah kepada sesama.

(4)     Urap-urapan [urap-urapan]

Urap-urapan yang berisi sayuran antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung symbol-simbol antara lain: kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai. Bayam (bayem) berarti ayem tentrem, taoge/cambah yang berarti tumbuh, kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/inovatif, brambang (bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya. Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

(5)     Undhak-Undhakan [undha?-undha?an]

Undhak-undhakan adalah tangga yang terbuat dari tebu jenis arjuna, yaitu tangga yang dibuat dari batang tebu wulung dan dihiasi kertas warna- warni. Hal ini dimaksudkan agar dalam menapaki (menjalani) hidupnya, apa yang di lakukan seorang anak diharapkan semakin meningkat dan mampu melewati halangan dan rintangan hidupnya kelak.

(6)     Jadah putih [jadah putIh]

Warna putih memiliki arti kesucian , setelah mimijak warna tersebut si anak diharapkan dapat memiliki kesucian hati kelak di kemudian hari.

(7)     Jadah biru [jadah biru]

Warna biru memilliki arti kesetiaan, setelah mimijak warna tersebut, diharapkan si anak memiliki sifat setia di masa yang akan datang.

(8)     Jadah ijo [jadah ijo]

Warna hijau melambangkan kehidupan, diharapkan si anak memiliki kehidupan dan masa depan yang cerah.

(9)     Jadah oren [jadah orɛn]

Warna oranye melambangkan matahari, diharapkan si anak menjadi berkat dan terang bagi orang-orang sekitar, bangsa dan negara.

(10) Jadah abang  [jadah abaŋ]

Warna merah memiliki arti keberanian, si anak dituntun untuk mimijak warna tersebut , agar si anak yang melakukan upacara tedhak siten tersebut memiliki keberanian untuk menjalani kehidupannya kelak.

(11) Jadah kuning  [jadah kuniŋ]

Warna kuning memiliki arti kekuatan , setelah bayi memijak warna tersebut diharapkan si bayi dapat memiliki kekuatan dalam menjalankan hidupnya.

(12) Jadah ireng  [jadah ireŋ]

Warna hitam mimiliki arti kecerdasan , setelah memijak warna tersebut diharapkan si bayi dapat memiliki kecerdasan di kemudian hari.

(13) Banyu gege [banyu gɛgɛ]

Banyu gege bertujuan agar si anak tetap sehat, membawa nama harum bagi keluarga, punya kehidupan yang layak, makmur dan berguna bagi nusa bangsa.

(14) Iwak lele [iwa? lele]

Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan symbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun.

(15) Gereh pethek  [gerɛh pɛthɛ?]

Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong, sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.

(16) Bubur abang putih  [bubur abaŋ putih]

Merah melambangkan sel telur dan putih melambangkan sperma.
Karenanya penyajian bubur merah putih bersamaan dalam satu mangkuk. Melambangkan sel telur dan sperma bertemu lalu melahirkan manusia baru. Dalam tedhak siten, bubur abang putih bertujuan agar si anak menjadi manusia baru yang berbakti, berguna, dan memiliki masa depan yang cerah.

(17) Beras kuning [beras kuniŋ]

Beras kuning memilki makna adanya rasa saling tolong menolong dan menghargai makhluk Tuhan yang lainnya sebagai bakti kita terhadap bumi.

(18) Jenang baro-baro [jenaŋ barɔ-barɔ]

Jenang baro-baro merupakan hidangan sebagai simbol untuk meminta pada Tuhan Yang Maha Esa agar si anak diberi keselamatan.

(19) Jajan pasar [jajan pasar]

Jajan pasar adalah lambang dari sesrawungan (hubungan kemanusiaan, silaturrahmi), lambang kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan anak-anak, sekar setaman, rokok dan sebagainya. Tujuannya agar si anak memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi.

(20) Kembang setaman [kembaŋ setaman]

Kembang setaman menyimbolkan keharuman. Hal ini agar si anak mampu membawa nama harum atau nama baik keluarga di kemudian hari dan bertujuan agar ia dapat menjalani kehidupan yang bersih dan lurus.

(21) Kurungan ayam [kuruŋan ayam]

Kurungan ayam diibaratkan sebagai simbol dunia. Kurungan itu berisi aneka macam mainan dan peralatan, seperti gelang, kalung, uang, hp, stateskop, buku, dan sebagainya. Anak disuruh mengambil barang yang di sukainya. Dimana barang yang dipilih si anak merupakan gambaran dari kegemaran dan juga pekerjaan yang diminatinya kelak setelah dewasa.

(22) Alat sekolah (buku, pensil) [alat sekolah]

Alat sekolah sebagai simbol ketika si anak sudah bersekolah, akan niat dan semangat untuk menuntut ilmu dan menggapai masa depan.

(23) Barang berharga (kalung, gelang) [baraŋ berharga]

Barang berharga sebagai simbol dan harapan kelak di kemudian hari si anak menjadi seorang yang berkecukupan dan makmur hidupnya.  

3.      Identitas Pengguna Bahasa dan Fungsi Bahasa Istilah- istilah Sesajen dalam Tradisi Tedhak Siten

Identitas pengguna bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal adalah seluruh lapisan masyarakat, baik dari strata ekonomi rendah hingga tinggi, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta tidak memandang tingkat pendidikan. Pelaku upacara tradisi Tedhak Siten adalah orang tua atau keluarga dari anak tersebut. Selain orang tua anak, upacara ini juga dihadiri oleh kakek-nenek, saudara-saudara dekat dan para pinisepuh sebagai tamu terhormat.

Fungsi bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal adalah  fungsi representasional, yaitu bahasa yang bertujuan untuk mengambarkan maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan tersebut bisa berupa fakta dan pengetahuan, menjelaskan suatu peristiwa, melaporkan sesuatu, serta lain- lainnnya. Fungsi representasional menjelaskan maksud dan tujuan dari upacara dan istilah-istilah sesajen yang digunakan dalam tradisi Tedhak Siten. Setiap sesajen yang digunakan dalam tradisi tersebut memiliki makna dan tujuan masing-masing sebagai wujud penghormatan dan harapan orang tua agar si anak kelak siap dan sukses menapaki kehidupan.


 

Simpulan

Terdapat enam rangkaian upacara yang ada dalam tradisi tedhak siten, yaitu: midhak jadah pitung werno, munggah undhak-undhakan, midhak pasir, dikurungi, nyebar beras kuning, dan ngadusi. Rangkaian upacara tersebut menggunakan sesajen sebagai simbol penghormatan kepada leluhur. Keseluruhan istilah sesajen dalam tradisi tedhak siten adalah 23 istilah. Sesajen yang digunakan antara lain: tumpeng, ingkung, dhuwit, urap-urapan, undhak-undhakan, jadah putih, jadah biru, jadah ijo, jadah oren, jadah abang, jadah kuning, jadah ireng, banyu gege, iwak lele, gereh pethek, bubur abang putih, beras kuning, jenang baro-baro, jajan pasar, kembang setaman, kurungan ayam, alat sekolah, dan barang berharga.

Ditinjau dari segi makna, istilah-istilah sesajen dalam Tedhak Siten terdapat dua makna kebahasaan, yaitu makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal diperoleh dari kamus dan dilihat langsung wujud konkretnya atau arti yang semua orang memiliki pandangan yang sama tentang kata tersebut. Makna kultural diperoleh dari informan dan jurnal penelitian terdahulu yang terkait langsung dengan Tedhak Siten sebagai kearifan sosial masyarakat.

Identitas pengguna bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal adalah seluruh lapisan masyarakat, baik dari strata ekonomi rendah hingga tinggi, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta tidak memandang tingkat pendidikan. Pelaku tradisi ini adalah orang tua atau keluarga dari anak tersebut, kekek-nenek, saudara dekat dan para pinisepuh.

Fungsi bahasa dalam tradisi Tedhak Siten di Desa Lumansari, Kabupaten Kendal adalah fungsi representasional, yaitu bahasa yang bertujuan untuk menggambarkan maksud dan tujuan tertentu. Fungsi ini menjelaskan maksud dan tujuan dari upacara dan istilah-istilah sesajen yang digunakan dalam tradisi Tedhak Siten oleh masyarakat di Desa Lumansari.

 


 

Daftar Pustaka

Brendes, Adam. 2019. Budaya Tedak Siten (Mudun Lemah). https://eprints.uny.ac.id/51240/17/HANDOUT%20TEDAK%20FOLIO.pdf. Diakses 3 Juni 2020 pukul 10.19

 

 

Chaer, Abdul.2009.Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

 

 

Dinawati, Ina. 2010. Istilah-istilah Sesaji dalan Tradisi Merti Desa di Desa Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang (Kajian Etnolinguistik). Skripsi Universitas Sebelas Maret.

 

 

Jourdan, Christine dan Kevin Tuite. 2006. Language. Culture. and Society. Key Topics in Linguistic Anthropology. Cambridge University Press. 2006.

 

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan.

 

 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tedhak Siten. https://belajar.kemdikbud.go.id/PetaBudaya/Repositorys/TedhakSinten/#:~:text=Tradisi%20Tedhak%20siten%20diperuntukkan%20bagi,sesepuh%20dan%20saudara%2Dsaudara%20dekatnya. Diakses 3 Juni 2020.

 

 

Lina, Sholikah. 2016. Istilah-istilah Sesaji dalam Tradisi Dhekahan Dhusun di Dusun Mangurrejo Desa Guli Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik). Tesis Universitas Sebelas Maret.

 

 

Luqmanawati, Septi. 2016. Leksikon Tradisi Nglarung Rawa di Rawa Pening Kecamatan Banyubiru (Kajian Etnolinguistik). Skripsi Universitas Negeri Semarang.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar