Rabu, 28 Oktober 2020

ANALISIS PUISI “KARENA KATA” KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK MENGGUNAKAN TEORI LAPIS NORMA ROMAN INGARDEN DAN TEORI STILISTIKA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

      I.        LATAR BELAKANG

Karya sastra merupakan sebuah struktur. Sehingga karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978: 16). Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis. Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra sendiri dipandang sebagai media atau sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan dari pembacanya.

 Dalam karya sastra terdapat tiga genre yaitu puisi, prosa dan drama. Puisi sebagai karya seni sastra yang dapat dikaji bermacam-macam aspeknya. Puisi merupakan genre sastra yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam untuk memaknainya. Puisi juga dapat dikaji dari struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Banyak karya sastra di dunia ini yang ditulis dalam bentuk puisi. Di dalam puisi tersebut penyair sering menuangkan ide dan gagasannya tentang peristiwa atau kejadian yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Dengan demikian puisi mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan dalam masyarakat. Kaidah yang terdapat dalam puisi sekarang mulai banyak ditanggalkan, karena adanya lisensi puitika. Lisensi puitika dianggap sebagai kebebasan pengarang dalam menuliskan puisi, mengingat karya sastra ialah imajinasi dan kreativitas dari pengarangnya yang keberadaannya membatasi daya cipta pengarang. Isi dalam puisi diutarakan secara tersirat. Ketersiratan makna puisi membuat interpretasi beragam-ragam oleh pembaca, karena makna yang terkandung lebih kias dibandingkan genre sastra lainnya.

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengambil karya dari Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Karena Kata”. Sapardi terkenal dengan karya-karyanya yang sangat sederhana, simple tetapi sangat menyentuh perasaan ketika seseorang membacanya. Karya Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Dalam makalah ini, penulis akan memakai 2 teori untuk menganalisisnya yaitu menggunakan teori dari Roman Ingarden dan juga dalam kebahasaannya di analisis menggunakan teori stilistika. Sedangkan pendekatannya sendiri penulis lebih menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis puisi ini.


BAB II

LANDASAN TEORI

Puisi merupakan sebuah karya sastra yang dapat dikaji dari berbagai macam aspeknya. Secara konvensional puisi bisa diartikan sebagai tuturan yang terikat oleh baris, bait, rima dan sebagainya. Beberapa ahli berpendapat bahwa unsur-unsur yang terdapat pada puisi itu berupa emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indra, susunan kata-kata kiasan, kepadatan dan sebagainya (Noor, 2009:25). Puisi dapat dikaji dalam struktur dan unsurnya, mengingat puisi merupakan struktur yang tersusun dari bermacam unsur dan sarana kepuistisannya (Pradopo, 2014:1). Struktur dalam puisi bersifat kompleks, maka untuk memahaminya diperlukan ilmu bantu lain untuk analisisnya. Struktur puisi dapat dikaji dengan menganalisis unsur instrinsik atau struktural. Penulis menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis puisi ini serta menggunakan landasan teori lapis norma Roman Ingarden untuk mengungkap strukturalisme puisi. Penulis juga menggunakan teori stilistika untuk menganalisis makna dari puisi ini diciptakan.

1.    Pendekatan Pragmatik

Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman ataupun sepanjang zaman. Menurut Teeuw, 1994 teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu sastra yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra. Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik  memberi manfaat  terhadap pembaca,  pendekatan  pragmatik secara keseluruhan  berfungsi  untuk menopang  teori resepsi, teori sastra  yang memungkinkan  pemahaman  hakikat  karya sastra tanpa batas.

Pendekatan Pragmatik memberikan perhatian utama terhadap perananan pembaca, dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan Pragmatik dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Subjek pragmatik dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan pengarang berbagai objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaanya, pengarang merupakan subjek pencipta, tetapi secara terus-menerus, fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis. Pendekatan pragmatik dengan demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut. Secara historis ( Abrams, 1976:16 ) pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica ( Hoatius ). Meskipun demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi srukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis ,yaitu pembaca ( Mukarovsky ).

Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan pragmatik memliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyrakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya satra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya sastra tanpa batas. Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat di pecahkan melalui pendekatan pragmatis, diantaranya berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Teori-teori postrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab samata-semata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khazanah kultural bangsa.

2.    Lapis Norma Roman Ingarden

Puisi ini memiliki struktur kompleks yang terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Lapis norma puisi saling berpengaruh satu dengan lainnya. Rene Wellek (1989:151) menjelaskan analisis Roman Ingarden dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk, ia menganalisis norma-norma dalam puisi menjadi seperti berikut:

1)    Lapis Bunyi

Bunyi dalam kesusastraan masa romantik dianggap sebagai kepuitisan yang utama. Berkaitan dengan pembacaan puisi yang dikaitkan dengan musik. Teori simbolisme mengemukan bahwa puisi tidak perlu memikirkan banyak arti. Melalui bunyi makna dan arti pada puisi dapat diterima dengan baik. Kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut efoni sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu disebut kakafoni didominasi konsonan k, p, t dan s (Pradopo, 2007:27). Kakafoni dapat digunakan untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan dan kacau. Terdapat kombinasi bunyi-bunyi efoni, di antaranya yaitu:

a)    Kombinasi bunyi vokal (asonansi) terdiri dari huruf a, i, u, e dan o

b)    Kombinasi bunyi konsonan bersuara (voiced) terdiri dari huruf b, d, g dan j

c)    Kombinasi bunyi likuida terdiri dari huruf r dan l

d)    Kombinasi bunyi sengau terdiri dari huruf m, n, ng dan ny.

Kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi yang tepat sehingga bunyi yang dirangkaikan dalam sajak dapat menimbulkan kesan cerah atau sebaliknya. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang tercermin dalam kesatuan sajak.

2)    Lapis Arti (Unit of Meaning)

Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab dan seluruh cerita yang semuanya merupakan suatu satuan arti. Fonem berkembang menjadi kata, kata menjadi frase kemudian menjadi kalimat hingga membentuk sebuah bait yang memiliki arti.

Lapis arti terbagi atas kosa kata, citraan dan sarana retorika. Kosa kata, diksi dan konotasi merupakan kunci utama dalam lapis arti ini. kata-kata yang digunakan penyair merupakan kata berjiwa artinya kata tersebut memiliki arti yang berbeda dengan kamus dan membutuhkan pengolahan yang dalam untuk mengartikannya. Penyair membutuhkan pilihan kata yang tepat agat mendapat kepadatan dan intensitas puisi yang ia mau. Selain penyair, pembaca pun juga harus mengerti arti kamus, arti denotatif dan konotatifnya sehingga penyampaian isi dari penyair dapat ditangkap dengan baik (Pradopo, 2014:52-60).

3)    Lapis Ketiga

Rangkaian satuan-satuan arti itu menimbulkan lapisan yang ketiga, yaitu objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku dan semuanya ditemukan dalam dunia pengarang (Pradopo, 2014:15). Lapis ketiga berkaitan dengan unsur struktural pembangun puisi.

4)    Lapis Keempat

Lapis norma keempat ialah “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan secara eksplisit, karena sudah terkandung di dalamnya (Pradopo, 2014:15). Lapis ini menjelaskan mengenai apa yang ditemukan dan yang tidak ditemukan atau hal tersirat yang berlawanan antara kata, kalimat, baris dan bait.

5)    Lapis Kelima (Metafisis)

Lapis kelima ialah lapisan metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Pradopo, 2014:15). Lapisan ini ditujukan untuk mengungkap maksud dari pengarang atas penciptaan puisinya.

Analisis lapis norma dibuat untuk mengetahui unsur pembentuk karya sastra. Rene Wellek (dalam Pradopo, 2014:19) mengkritik lapis norma Roman Ingarden dengan mengatakan bahwa analisis ini hanya mengungkap fenomena dalam puisi secara formal saja, nilai dalam puisi tidak dihubungkan dengan penilaian lainnya. Orang belum dapat memahami dan kandung nilai dalam puisi hanya dengan lapis norma Roman Ingarden.

3.    Teori Stilistika

Istilah “stilistika” diserap dari bahasa bahasa Inggris stylistics yang diturunkan dari kata style yang berarti ‘gaya’. Secara etimologi, istilah style atau gaya itu sendiri menurut Shipley (1979:314) dan Mikics (2007:288) berasal dari bahasa Latin stilus, yang berati ‘batang atau tangkai’, menyaran pada ujung pena yang digunakan untuk membuat tanda-tanda (tulisan) pada tanah liat yang berlapis lilin (metode kuno dalam menulis). Jadi, secara sederhana stilistika dapat diartikan sebagai ilmu tentang gaya bahasa.

            Penelitian stilistika penting untuk dilakukan dalam kerangka penelitian sastra karena stilistika memungkinkan kita mengidentifikasi ciri khas teks sastra (Wellek dan Warren, 1989:226; dan Bradford, 1997:xi). Selain itu, stilistika dapat memberikan manfaat bagi pembaca sastra, guru sastra, kritikus sastra, dan sastrawan. Stilistika dapat membantu pembaca sastra untuk lebih memahami seluk-beluk bahasa sastra, baik dari aspek bunyi, kata, kalimat, hingga wacana sastra. Guru sastra pun dapat memanfaatkan stilistika sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran sastra khususnya untuk mengajarkan pemaknaan puisi dari aspek bahasanya. Kritikus sastra dapat pula memanfaatkan stilistika sebagai salah satu alternatif teori dalam mengkaji/mengkritik karya sastra dari sudut pandang bahasanya. Sementara bagi sastrawan sebagai pencipta karya sastra, stilistika dapat memberikan kontribusi pemahaman tentang ragam bahasa sastra sehingga para sastrawan dapat lebih meningkatkan kualitas karya sastranya.

            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif. Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik.

BAB III

PEMBAHASAN

 

KARENA KATA

(Sapardi Djoko Damono)

 

Karena tak dapat kutemukan

Kata yang paling sepi

Kutelantarkan hati sendiri

 

Karena tak dapat kuucapkan

Kata yang paling rindu

Kubiarkan hasrat membelenggu

 

Karena tak dapat kuungkapkan

Kata yang paling cinta

Kupasrahkan saja dalam doa


A.   Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan pendidikan, moral, politik, agama, ataupun tujuan yang lain. Atau pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu hal yang dibuat atau diciptakan untuk mencapai atau menyampaikan efek-efek tertentu pada penikmat karya sastra, baik berupa efek kesenangan, estetika atau efek pengajaran moral, agama atau pendidikan dan efek-efek lainnya. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut bagi pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam karya sastra. Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan moral, agama maupun fungsi sosial lainnya.

Analisis pragmatik adalah pendekatan sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra itu sendiri. Dari analisis yang penulis peroleh dari respons beberapa pembaca dapat saya simpulkan bahwa puisi “Karena Kata” karya Sapardi Djoko Damono ini sangat menyentuh hati dan menarik pembaca untuk membaca puisi tersebut. Dalam puisi ini penyair mampu menggambarkan perasaan-perasaannya yang begitu mendalam sehingga tak mampu di ungkapkan dengan kata-kata yang ada, dan dia hanya bisa mencurahkan hanya lewat doa.

Dari beberapa pembaca rata-rata setelah membaca puisi tersebut perasaannya sangat sedih dan terharu karena sebagian pembaca memiliki pengalaman yang sama dengan apa yang digambarkan penyair dalam puisinya. Irama yang digunakan dalam puisi tersebut sangat tepat dalam penggalan katanya, sehingga tiap-tiap baitnya dapat tersusun secara baik dan terstruktur sehingga dapat menjadi sebuah puisi yang indah. Dan nilai positif dari puisi tersebut menurut pembaca adalah rasa berserah diri mungkin jalan terbaik atas segala apapun yang kita rasakan dan dengan cara memasrahkan segalanya pada untaian doa yang dipanjatkan kepada sang pencipta. Terakhir setelah pembaca atau responden membaca dan menganalisis puisi diatas semuanya berpendapat bahwa puisi tersebut dapat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua umur khususnya pelajar dan mahasiswa, karena puisi tersebut menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dipahami. Dapat dibuktikan juga bahwa puisi ini sangat mudah dipahami akan penulis analisis kembali menggunakan teori stilistika.

B.   Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Teori Roman Ingarden

1)    Analisis pertama menggunakan teori Roman Ingarden yaitu lapis bunyi. Lapis bunyi ini menggunakan analisis bunyi asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.

Ø  Pada bait pertama Asonansi dengan vokal:

(a) 14               (i) 5                  (u) 3                 (e) 5                 (o) –

Aliterasi dengan konsonan

(b) -                 (d) 2                 (g) 2                 (h) 1                 (k) 7

(p) 3                 (s) 2                 (t) 6

Bunyi Likuida

(r) 3                 (l) 2

Bunyi Sengau

(m) 1                (n) 7                 (ng) 1               (ny)-

 

Ø  Pada bait kedua

(a) 15               (i) 3                  (u) 5                 (e) 4                 (o) –

Aliterasi dengan konsonan

(b) 2                 (d) 1                 (g) 4                 (h) 1                 (k) 7

(p) 3                 (s) 1                 (t) 4

Bunyi Likuida

(r) 4                 (l) 2

Bunyi Sengau

(m) 2                (n) 7                 (ng) 2               (ny) –

 

Ø  Pada bait ketiga

(a) 19               (i) 2                  (u) 3                 (e) 1                 (o) 1

Aliterasi dengan konsonan

(b) -                  (d) 2                 (g) 3                 (h) 1                 (k) 8

(p) 4                 (s) 2                 (t) 4

Bunyi Likuida

(r) 2                  (l) 2

Bunyi Sengau

(m) 1                (n) 6                 (ng) 2               (ny) –

 

2)    Lapis Arti Puisi “Karena Kata”

Setiap diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh penyair. Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah satu ciri puisi. Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impres tertentu pada pembacanya. Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat, dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17). Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.

 

a.    Bait pertama dapat diartikan bahwa tiada kata yang dapat mewakili keadaan yang begitu sepi sehingga pengarang memutuskan untuk pasrah dengan hati yang terlantar.

b.    Bait kedua memiliki arti pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu, sehingga pengarang memutuskan untuk membiarkan hatinya terbelenggu.

c.      Bait ketiga dapat dimaknai bahwa kata cinta masih belum dapat mewakili perasaannya yang begitu mendalam, sehingga pengarang memasrahkan semuanya pada doa – doa yang dipanjatkan.

 

3)    Lapis Ketiga Puisi “Karena Kata”

Pada lapis ini mengungkapkan objek yang ada didalamnya, yaitu:

Subjek atau pelaku                 : Aku

Latar suasana                         : keadaan sepi dan penuh rindu

Dalam bait-bait diatas pengarang menggambarkan bahwa banyak sekali perasaan-perasaan yang tak mampu di ungkapkan dengan kata-kata. Yang pada akhirnya hanya ada perasaan pasrah dan doa yang terpanjat.

 

4)    Lapis Keempat Puisi “Karena Kata”

Lapis pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bait-bait puisi tersebut pengarang menggambarkan bahwa banyak perasaan yang dirasakannya tak dapat diwakili dengan kata sehingga pengarang hanya pasrah dengan memanjatkan doa.

 

5)    Lapis Kelima Puisi “Karena Kata”

Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji. Dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan pesan bahwa rasa pasrah atau berserah diri merupakan jalan terbaik dari apa yang sedang kita rasakan. Pada baris terakhir puisi, pengarang menekankan pada sisi religius dengan menyerahkan semuanya pada Maha Pencipta dengan memanjatkan doa kepada sang pemberi kehidupan. “Kupasrahkan saja dalam doa”.

C.   Analisis Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono Menggunakan Teori Stilistika

1.    Pada analisis puisi “Karena Kata” karya Sapardi Djoko Damono ini, penulis akan menjabarkan teori Stilistika yang terdapat pada puisi ini dengan menganalisisnya per-bait. Berikut merupakan penjabarannya:

a)    Pada bait pertama

“karena tak dapat kutemukan

Kata yang paling sepi

Kutelantarkan hati sendiri”

Dalam puisi ini terdapat majas hiperbola, yang si Aku ini menghiperbola kata dengan sepi (suasana) hingga si Aku ini menelantarkan hatinya sendiri karena si kekasih yang diharapkannya itu belum juga datang. Pada bait ini mengandung arti atau makna tiada kata yang dapat mewakili keadaan yang begitu sepi sehingga pengarang memutuskan untuk pasrah dengan hati yang terlantar.

 

b)    Pada bait kedua

“karena tak dapat kuucapkan

Kata yang paling rindu

Kubiarkan hasrat membelenggu”

Dalam puisi ini terdapat majas hiperbola, tokoh Aku dalam puisi ini menghiperbola kata rindu yang tidak sanggup dia ungkapkan atau dia sampaikan hingga rindu itu terus membelenggu atau terus mengikat perasaannya yang begitu dalam. Dalam bait ini mengandung arti atau makna pengarang tak dapat menemukan kata yang melebihi arti dari kata rindu, sehingga pengarang memutuskan untuk membiarkan hatinya terbelenggu.

 

c)    Pada bait ketiga

“karena tak dapat kuungkapkan

Kata yang paling cinta

Kupasrahkan saja dalam doa”

Dalam bait ketiga puisi ini terdapat majas alegori yang menyandingkan objek dengan kata-kata kiasan. Dalam puisi ini si Aku menyandingkan kata doa yang dia pasrahkan dalam doa, yang membiarkan Tuhan yang menentukan akan dibawa kemana cinta si Aku ini. Dalam bait ini mengandung arti atau makna bahwa kata cinta masih belum dapat mewakili perasaannya yang begitu mendalam, sehingga pengarang memasrahkan semuanya pada doa – doa yang dipanjatkan.

 

2.    Citraan atau Imagery (gambaran angan-angan) dalam Puisi “Karena Kata” Karya Sapardi Djoko Damono

Citraan adalah gambar-gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Citraan digunakan dalam puisi untuk  memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, menghidupkan gambaran dalam pikiran dan penginderaan. Citraan yang terdapat dalam puisi ini adalah citraan pendengaran. Citra pendengaran (auditory imagery) adalah citraan yang dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citraan ini terdapat pada kata

Ø  Kata yang paling sepi

Ø  Karena tak dapat kuucapkan

Ø  Karena tak dapat kuungkapkan


BAB IV

PENUTUP

A.   Simpulan

Karya sastra merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik dan saling menentukan. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978: 16). Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gagasan tranformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk  (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis. Dalam pendekatan pragmatik, karya sastra sendiri dipandang sebagai media atau sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembacanya. Pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan dari pembacanya. Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Karena Kata”. Sapardi terkenal dengan karya-karyanya yang sangat sederhana, simple tetapi sangat menyentuh perasaan ketika seseorang membacanya. Karya Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.

DAFTAR PUSTAKA

Noor, Redyanto. 2010. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

 

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University

                  Press.

 

Senja, Gadis. 2016. Kumpulan Puisi. Diambil dari http://kumpulanpuisiyangkusukai.blogspot.com/2016/12/karena-kata.html

 

Warsiman. 2017. Pengantar Pembelajaran Satra. Malang: UB Press.

 

Wicaksana, Andri. 2014. Catatan Ringkasan Stilistika. Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar