Pendahuluan
Bahasa adalah salah satu produk kebudayaan yang
memiliki keterkaitan dengan cara berpikir (Sibarani, 2004: 46). Setiap
masyarakat memiliki konsep berpikir dan cara pandang berbeda-beda yang
tersimbol melalui bahasa yang dituturkan. Oleh karena itu bahasa memiliki sifat
arbitrer yang tidak tetap atau bisa berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Seperti
hipotesis kedua dari Sapir dan Whorf yang menyatakan linguistic determinism
bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia
perceptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori
dan struktur yang sudah ada dalam bahasa (Widhiarso, 2005). Di
zaman yang modern ini, bahasa telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan
dari mulai penggunaannya serta cara masyarakat dalam menilai makna dari sebuah
bahasa yang digunakannya.
Perkembangan dunia modernisasi telah menjalar
ke seluruh wilayah pedesaan. Dampak dari modernisasi membuat melemahnya nilai
dalam berbudaya. Namun dalam kemodernisasian, terdapat juga masyarakat yang
masih melestarikan kebudayaan untuk menunjang nilai dalam berbudaya melalui
hubungan manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan masyarakat. Sebagai
contohnya, di daerah Kabupaten Kendal masih memperhatikan tata krama dalam berbudaya
dengan menjalankan budaya slametan sebagai
ucapan rasa syukur untuk sikap saling menghargai dalam bermasyarakat.
Slametan
berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia,
sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden
yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti ora
ana apa-apa (tidak ada apa-apa). Slametan
merupakan salah satu tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri dari mala
petaka. Kata “slametan” memiliki konsep
universal di setiap tempat dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran
akan diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Bentuk
rasa syukur atau acara syukuran yang dilaksanakan dengan mengundang beberapa
kerabat atau tetangga dengan memanjatkan doa bersama sebagai bentuk rasa syukur
atau peringatan diri terhadap manusia sebagai makhluk Allah SWT. Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian mulai dari kelahiran,
kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya.
Maraknya modernisasi yang terus
mengglobal maka perlu adanya penanganan dalam melestarikan budaya atau tradisi
yang ada di negara Indonesia. Beberapa orang meninggalkan tradisi atau budaya
tertentu karena kurang efektif untuk dilaksanakan, hal yang instan telah
membudaya di Indonesia sejak munculnya kemodernisasian. Oleh karena itu, perlu
adanya pemahaman tentang berbagai makna di dalam suatu budaya supaya masyarakat
lebih menghargai budaya yang ada. Adapun ruang lingkup dalam studi ini mencakup
(1) menjelaskan makna leksikal dalam
budaya slametan di Kabupaten Kendal;
(2) menjelaskan makna kultural dalam budaya slametan
di Kabupaten Kendal.
Tinjauan
Pustaka
Budi Wibowo (2009) meneliti mengenai
“Simbolisme Pada Upacara Selametan Tujuh Bulanan (Tingkeban) di Desa Pasirharjo
Kecamatan Talun Kabupaten Blitar. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian semiotik. Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur dan makna unsur verbal yang
terdapat dalam upacara selamatan tingkeban di Desa Pasirharjo, mendeskripsikan
makna dan unsur non verbal dalam upacara selametan tingkeban di Desa
Pasirharjo, dan mendeskripsikan prosesi pelaksanaan tingkeban di Desa
Pasirharjo. Sumber data penelitian ini adalah upacara selametan tingkeban di
Desa pasirharjo. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan studi
dokumen dan teknik analisis data berupa (1) menelaah data, (2) mengidentifikasi
data, dan (3) pengklasifikasian data. Data penelitian ini adalah (1) paparan
ujub dan doa, (2) hasil observasi mengenai sikap dan perilaku partsispan
upacara, tempat dan waktu upacara, prosesi upacara, maupun perlengkapan
upacara, (3) foto atau dokumentasi tentang perlengkapan, pelaku, dan prosesi
upacara Tingkeban, (4) hasil wawancara dengan responden yang berupa salinan
rekaman atau catatan tentang komponen dan prosesi upacara.
Eka Yuliyani
(2010) meneliti tentang “Makna Tradisi Selametan
Petik Pari Sebagai Wujud Nilai-Nilai Religius Masyarakat Desa Petungsewu
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang”. Penelitian ini menggunakan penelitian
deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi parsipasif,
studi dokumentasi serta wawancara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa,
asal-usul tradisi “Selamatan Petik Pari” telah ada sejak zaman nenek moyang
masyarakat Jawa. Prosesi pelaksanaan tradisi ini dimulai dengan mempersiapkan
sesajian dan tumpeng,kemudian sesajian dan tumpeng dibawa kesawah yang hendak
dipanen dan dimulailah ritual membaca mantra yang di pimpin oleh ketua adat
setempat,kemudian sesajian dan sisa tumpeng dibawa kembali kerumah untuk
dihajatkan kembali. Keterkaitan religi dan tradisi dalam tradisi “Selamatan
Petik Pari” adalah mereka menjalankan tradisi karena percaya dengan hal–hal
mistik tapi dalam penyampaian doanya selalu ditujukan kepada Yang Maha
Kuasa.Perubahan dan pergeseran tradisi yang terjadi tidak terlalu
terlihat,hanya dalam sistem peralatan upacara saja yang agak
berkurang,sedangkan dalam emosi keagamaan dan sistem keyakinan masyarakat tetap
berjalan sebagaimana mestinya.
Rudianto, Dkk. (2016) meneliti tentang “Model Upacara Ritual Selametan Masyarakat Perkampungan Berbasis Masjid”. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumen-dokumen yang mendukung yang dapat dijadikan sebagai penguat keduanya. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis domain, taksonomi, dan komponensial, serta tema kulutural. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan mencari informan kunci yang dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang sedang diteliti kemudian dikembangkan kepada informan yang lebih luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang peleksanaan ritual selamatan bagi masyarakat perkampungan di Ponorogo berbasis masjid. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model umat Islam yang masih meyakini budaya-budaya selamatan baik yang berkaitan dengan kelahiran, kematian, mendirikan rumah, menggali sumur rumah, menanam padi di sawah, dan waktu panenan. Karena hamper di setiap kampong menjalankan ritual seperti tersebut. Jenis upacara ritual selamatan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan kematian di luar upacara pemakaman ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina.
Landasan Teori
Teori Sapir-Whorf
Perbedaan cara berpikir
memiliki kaitan dengan cara manusia berbahasa. Dalam kajian Jufrizal (2007),
teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf
menyatakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka
berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda
karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar
mereka dengan cara yang berbeda pula. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis
mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran: 1) linguistic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa
perbedaan struktur bahasa secara umum parallel dengan perbedaan kognitif
non bahasa (nonlinguistic cognitive);
2) linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara
individu mempersepsi dan menalar dunia perceptual. Penelitian ini mengacu pada
hipotesis yang dikemukakan oleh Sapir-Whorf pada hipotesis yang ke dua yaitu linguistic determinism bahwa setiap individu mempersepsi bahasa menurut sudut
pandang bahasanya sendiri.
Teori Makna
Makna kebahasaan erat kaitannya dengan segala segi kehidupan yang sangat komplek dan luas. Teori makna menurut Ferdinand de Saussure mengungkapkan bahwa setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur yang diartikan dan yang mengartikan. Banyak macam-macam teori mengenai makna diantaranya yaitu makna leksikal dan makna kultural yang akan dikaji oleh peneliti. Menurut Suwandi (2002: 86) makna leksikal merupakan makna leksem ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun dalam bentuk derivasi dan maknanya kurang lebih tetap seperti terdapat dalam kamus. Sedangkan makna kultural menurut Abdullah (2004: 3) adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungan dengan budaya tertentu.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa yang dipakai oleh informan. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten kendal dengan menitikkan lokasi penelitian secara acak dengan pembagian 4 desa yang ada di barat di desa Montongsari, di tengah desa Lumansari, di timur Desa Kutoharjo, di selatan di Desa Triharjo. Teknik dasar menggunakan teknik pancing. Peneliti dengan strateginya berusaha memancing pengguna bahasa agar mau berbicara sesuai dengan apa yang diharapkan dan dapat memperoleh data. Teknik lanjutan cakap semuka, yaitu teknik mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara melakukan percakapan langsung dengan sumber data (informan). Teknik rekam dan teknik catat adalah teknik lanjutan yang digunakan untuk menyadap/merekam pemakaian istilah-istilah, dalam budaya slametan. Analisis data menggunakan metode padan dan metode distribusional. Metode penyajian hasil analsis data menggunakan metode deksriptif informal.
Pembahasan
Setiap
tempat ataupun tempat yang berpenghuni pasti memiliki sebuah peraturan ataupun
adat istiatadat yang berlaku di wilayahnya masing-masing, seperti yang ada di kabupaten
Kendal memiliki budaya untuk merayakan hampir
semua kejadian mulai dari kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan
sebagainya.
Namun dengan adanya arus modernisasi yang mengglobal,
namunbudaya slametan di Kabupaten ini
masih tetap diteguhkan. Slametan dilakukan
untuk merayakan hampir semua kejadian mulai dari peringatan hari lahir,
kematian, pernikahan, keislaman dan lain-lain.
Secara signifikan tidak ada yang terlalu membedakan untuk tradisi slametan
di dalam 4 titik penelitian. Semua memiliki
istilah atau prosesi yang sama, yang membedakan yaitu dari bentuk mana
kita mengadakan upacara slametan.
1.
Makna
Leksikal dan Makna Kultural Istilah-Istilah Budaya Slametan
Seperti
yang telah dijelaskan di atas, bahwa untuk melaksanakan tradisi ini dibedakan
menjadi beberapa bentuk. Dalam analisis, akan menggunakan analisis semiotik
yang akan dikaji menjadi 2 bentuk makna yaitu makna leksikal dan makna kultural
dari istilah-istilan dalam budaya slametan.
Berikut merupakan beberapa bentuk istilah-istilah yang didapatkan dalam tradisi
buadaya slametan.
1) Slametan
Analisis pertama yaitu akan dikaji secara
garis besar atau utamanya yaitu dengan kata slametan
itu sendiri. Dalam hal ini, jika
dilihat dari leksikal dari bahasa Arab “salamah”
yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Slametan atau selametan dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
V, 2016) yaitu berarti sebuah tradisi ritual
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa
kerabat atau tetangga. Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa
bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari berkat atau makanan yang akan didoakan. Jika dilihat dari aspek
konotatifnya, slametan merupakan
ucapan rasa syukur atau sebagai peringatan hari-hari penting yang dilakukan
oleh masyarakat.
Dengan makna lainnya dari
slametan sendiri yaitu mempererat
tali silaturahmi atau persaudaraan karena semua orang terdekat termasuk saudara
atau tetangga juga ikut berkumpul dan melaksanakan doa bersama untuk suatu
kebaikan atau peringatan.
2)
Atur-atur
Analisis kedua yaitu atur-atur, makna leksikal berasal dari
kata matur yang mengalami proses
reduplikasi menjadi atur-atur yang
berarti bilang, berbicara atau memberitahu. Artinya dalam budaya slametan ini memiliki arti mengundang
para tamu undangan untuk datang ke acara slametan.
Makna kulturalnya yaitu kata atur-atur
tidak dilakukan jauh-jauh hari atau menggunakan secarik kertas. Atur-atur yang dimaksudkan adalah dengan
cara dari mulut ke mulut. Jadi, tuan rumah yang mengadakan acara slametan akan berkeliling rumah satu jam
sebelum acara dimulai untuk atur-atur
atau menyampaikan undangan bahwa akan dilaksanakan acara slametan di rumah yang memberi kabar. Makna lain yang terkandung yaitu menjalin silaturahmi antara
orang per-orang dengan cara tradisional dengan gethuk tular atau dari mulut ke mulut yang masih asli dalam sebuah
tradisi Jawa.
3) Berkat
Analisis
ketiga yaitu oleh-oleh atau jajan
dari acara slametan disebut dengan berkat atau berkatan. Jika dilihat dari leksikal berkat dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, 2016
mengartikan bahwa karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia. Berkat dalam budaya slametan berarti sebuah jajanan berupa nasi serta lauk pauk dan
jajanan pasar khas orang Jawa. Makna kultural yaitu berupa oleh-oleh bagi orang
terdekat sebagai wujud rasa terima kasih telah datang. Dan berkat sebagai wujud dari rasa syukur, terima kasih atas berkah
yang telah Tuhan turunkan kepada keluarga yang bersangkutan.
4) munjung atau punjungan
Analisis
ke-empat yaitu mungjung atau punjungan. Dilihat dari makna leksikal Kamus Besar
Bahasa indonesia via daring /mun·jung/ artinya penuh (lebih tinggi
daripada permukaan takaran) mumbung; memunjung/me·mun·jung/ artinya munjung
atau dikarenakan pelafalan dalam bahasa Jawa disebut dengan punjung. Istilah ini merupakan berarti memberi berkat atau lauk berupa sayur atau ayam kepada keluarga terdekat
dan/atau ke tetangga kanan-kiri depan-belakang kita. Analisis kultural yaitu munjung atau punjungan ini tersimpul makna yaitu dengan keluarga terdekat maupun
dengan tetangga terjalin silaturahmi yang baik dengan memberi sesuatu yang kita
punya untuk dilebihkan. Selain itu tersimpul bahwa munjung atau punjungan ini
berarti sebagai bentuk ucapan terima kasih “lebih” dikarenakan telah membantu
hal-hal kecil lain (gotong royong) sebelum acaranya dimulai.
5) Tahlil
Analisis ke-lima masuk ke dalam inti
dalam sebuah acara slametan yaitu
melakukan tahlil bersama. Secara leksikal tahlil /tah·lil/ pengucapan
kalimat tauhid laa illaha illallah 'tidak ada Tuhan selain Allah'
secara berulang-ulang; ditarik kesimpulan bahwa tahlil yaitu doa bersama yang dilakukan dalam suatu acara doa bersama para
muslim yang melibatkan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Makna kultural yang
terdapat yaitu sebagai doa ucapan syukur atau sebagai peringatan-peringatan
hari penting seperti maulid nabi, peringatan kematian dan lain sebagainya.
Makna lainnya yaitu berupa perwujudan dari rasa syukur seorang hamba kepada
sang pencipta, sekaligus sebagai masyarakat islam yang tinggal di pedesaan
namun tetap menjunjung tinggi doa bersama sehingga diakulturasikan dalam budaya
slametan ini yang ditambahkan dengan doa bersama atau tahlil.
6) Wedangan
Analisis ke-enam yaitu acara wedangan. Secara leksikal yaitu wedangan
berasal dari bahasa Jawa dari kata “wedang” /we·dang/ /wédang/ Jw
n minuman dari bahan gula dan kopi (teh, jahe, dan sebagainya) yang
biasanya disedu dengan air panas, biasanya dapat menghangatkan tubuh. Minuman hangat ini biasanya dalam masyarakat Jawa yang
sering dijumpai yaitu minum teh atau jahe, namun yang lebih umum biasanya
adalah teh yang murah meriah, ada di warung-warung dan mudah dibuatnya. Makna kultural
yaitu sebagai wejangan karena selesai membacakan tahlil atau doa bersama. Makna
lainnya yaitu sebagai rasa “lebih” karena telah bersukarela datang ke acara slametan juga telah menyempatkan pula
untuk berbagi doa bersama sesuai dengan peringatan yang sedang diperingati.
7) Bubaran
Analisis ke-tujuh yaitu bubaran.
Analisis dari leksikal dari KBBI daring
bu·bar/ v 1 bercerai-berai ke mana-mana (tentang orang ramai
yang berkumpul); berserak-serak ke sana kemari.
Analisis kultural yaitu dalam bubaran ini
berarti menandakan bahwa telah usai atau selesainya acara slametan. Selain itu, dalam bubaran
ini juga terdapat makna lain seperti mempererat atau menghangatkan kembali
tali persaudaraan karena dalam acara ini orang yang mengikuti acara ini sebelum
kembali ke rumah masing-masing, mereka akan berjabat tangan satu sama lain.
8) Ngeter-ngeterke
Analisis ke-delapan yaitu ngeter-ngeterke.
Analisis leksikal yaitu berasal dari bahasa Jawa yang berarti mengantarkan.
Analisis kultural yaitu selain sebagai rasa syukur atau sebagai acara untuk
peringatan suatu hal yang besar untuk berkat
tetap diantarkan kepada beberapa warga yang tidak hadir dalam acara slametan. Selain itu juga terdapat makna
bahwa kita masih mengganggap mereka ada dan tetap mendapat hantaran makanan
berupa berkat sekalipun mereka tidak
hadir di dalam acara tersebut.
2.
Nilai Budaya Slametan dalam
Hubungan Manusia dengan Tuhan
Manusia
merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala kelebihan yang
dimilikinya dibandingkan dengan makhluk yang Tuhan ciptakan lainnya. Manusia
memiliki akal untuk berpikir secara logis untuk hidup berkelompok atau
bermasyarakat dengan menggunakan aturan atau sistem sebagai pedoman dalam
menjalani hidup. Aturan tersebut dibuat untuk menciptakan lingkungan yang damai
dan tentram menurut pedoman hidup beragama. Menaati apa yang telah Tuhan
tentukan dan menjauhi segala larangannya merupakan bentuk cinta kasih manusia
kepada Tuhan yang memberikannya hidup makmur di bumi.
Dalam nilai budaya slametan merupakan wujud dari rasa
syukur ucapan rasa syukur atau sebagai peringatan hari-hari penting yang
dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan kesadaran akan
diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Bentuk rasa
syukur atau acara syukuran yang dilaksanakan dengan mengundang beberapa kerabat
atau tetangga dengan memanjatkan doa bersama sebagai bentuk rasa syukur atau
peringatan diri terhadap manusia sebagai makhluk Allah SWT. Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian mulai dari
kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Maka slametan perlu diadakan sebagai simbol
dari ucapan syukur atau sebagai peringatan hari-hari kematian dan lain
sebagainya.
Simpulan
Sebuah kebudayaan
atau tradisi sudah seharusnya dan sepantasnya untuk tetap dilaksanakan guna
mempererat tali persaudaraan. Terdapat makna leksikal dan kultural serta nilai
budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam sebuah budaya slametan. Dalam sebuah budaya slametan ini, kita dapat mengambil
hikmah yang dapat kita ambil untuk melestarikan budaya di tengah
kemodernisasian yang ada. Dalam budaya slametan
khususnya di Kabupaten Kendal ini terdapat beberapa istilah yaitu istilah slametan, atur-atur, berkat atau berkatan, munjung atau punjungan, tahlil, wedangan, bubaran, ngeter-ngeterke. Yang dalam berbagai istilah
tersebut terdapat berbagai makna leksikal dan kultural. Nilai budaya dalam
hubungan manusia dengan Tuhan merupakan wujud dari rasa syukur ucapan rasa
syukur atau sebagai peringatan hari-hari penting yang dilakukan oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad kholil. 2008. Islam Jawa: Sufisme Dalam Etika Jawa Dan
Tradisi Jawa. Win malang press.
Jourdan, Christine dan Kevin Tuite. 2006. Language. Culture.
and Society. Key Topics in Linguistic Anthropology. Cambridge University Press.
2006.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tth
(daring). Diambil dari: https://kbbi.web.id/
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan
Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Rudianto, Dkk. 2016. Model Upacara Ritual
Selametan Masyarakat Perkampungan Berbasis Masjid. Prosiding
Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian 2016 : Bidang Agama Islam, Budaya,
Ekonomi, Sosial Humaniora, Teknologi, Kesehatan, Dan Pendidikan. Pp. 25-46.
Issn 978-602-0815-22-0.
Simuh. 2002. Sufisme Jawa :
Transformasi Tasawuf Islam Kemistik Jawa. Yokyakarta: bentang.
Wibowo,
Budi. 2009. Simbolisme pada
Upacara Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)di Desa Pasirharjo Kecamatan Talun
Kabupaten Blitar . Skripsi, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.
Fakultas Sastra. Program Sarjana Universitas Negeri Malang.
Wikipedia.
2018. Selamatan. Diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Selamatan
Yuliyani, Eka. 2010. Makna Tradisi “Selamatan Petik Pari” Sebagai Wujud
Nilai-Nilai Religius Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang.
Skripsi, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Universitas
Negeri Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar