Rabu, 28 Oktober 2020

ISTILAH-ISTILAH BUDAYA SLAMETAN MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN KENDAL DITINJAU DARI MAKNA LEKSIKAL, KULTURAL, DAN NILAI BUDAYA

 

Pendahuluan

Bahasa adalah salah satu produk kebudayaan yang memiliki keterkaitan dengan cara berpikir (Sibarani, 2004: 46). Setiap masyarakat memiliki konsep berpikir dan cara pandang berbeda-beda yang tersimbol melalui bahasa yang dituturkan. Oleh karena itu bahasa memiliki sifat arbitrer yang tidak tetap atau bisa berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Seperti hipotesis kedua dari Sapir dan Whorf yang menyatakan linguistic determinism bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perceptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa (Widhiarso, 2005). Di zaman yang modern ini, bahasa telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari mulai penggunaannya serta cara masyarakat dalam menilai makna dari sebuah bahasa yang digunakannya.

Perkembangan dunia modernisasi telah menjalar ke seluruh wilayah pedesaan. Dampak dari modernisasi membuat melemahnya nilai dalam berbudaya. Namun dalam kemodernisasian, terdapat juga masyarakat yang masih melestarikan kebudayaan untuk menunjang nilai dalam berbudaya melalui hubungan manusia dengan Tuhan maupun manusia dengan masyarakat. Sebagai contohnya, di daerah Kabupaten Kendal masih memperhatikan tata krama dalam berbudaya dengan menjalankan budaya slametan sebagai ucapan rasa syukur untuk sikap saling menghargai dalam bermasyarakat.  

Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti ora ana apa-apa (tidak ada apa-apa). Slametan merupakan salah satu tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri dari mala petaka. Kata “slametan” memiliki konsep universal di setiap tempat dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Bentuk rasa syukur atau acara syukuran yang dilaksanakan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga dengan memanjatkan doa bersama sebagai bentuk rasa syukur atau peringatan diri terhadap manusia sebagai makhluk Allah SWT. Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian mulai dari kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya.

Maraknya modernisasi yang terus mengglobal maka perlu adanya penanganan dalam melestarikan budaya atau tradisi yang ada di negara Indonesia. Beberapa orang meninggalkan tradisi atau budaya tertentu karena kurang efektif untuk dilaksanakan, hal yang instan telah membudaya di Indonesia sejak munculnya kemodernisasian. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman tentang berbagai makna di dalam suatu budaya supaya masyarakat lebih menghargai budaya yang ada. Adapun ruang lingkup dalam studi ini mencakup (1) menjelaskan  makna leksikal dalam budaya slametan di Kabupaten Kendal; (2) menjelaskan makna kultural dalam budaya slametan di Kabupaten Kendal.

Tinjauan Pustaka

Budi Wibowo (2009) meneliti mengenai “Simbolisme Pada Upacara Selametan Tujuh Bulanan (Tingkeban) di Desa Pasirharjo Kecamatan Talun Kabupaten Blitar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian semiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur dan makna unsur verbal yang terdapat dalam upacara selamatan tingkeban di Desa Pasirharjo, mendeskripsikan makna dan unsur non verbal dalam upacara selametan tingkeban di Desa Pasirharjo, dan mendeskripsikan prosesi pelaksanaan tingkeban di Desa Pasirharjo. Sumber data penelitian ini adalah upacara selametan tingkeban di Desa pasirharjo. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan studi dokumen dan teknik analisis data berupa (1) menelaah data, (2) mengidentifikasi data, dan (3) pengklasifikasian data. Data penelitian ini adalah (1) paparan ujub dan doa, (2) hasil observasi mengenai sikap dan perilaku partsispan upacara, tempat dan waktu upacara, prosesi upacara, maupun perlengkapan upacara, (3) foto atau dokumentasi tentang perlengkapan, pelaku, dan prosesi upacara Tingkeban, (4) hasil wawancara dengan responden yang berupa salinan rekaman atau catatan tentang komponen dan prosesi upacara.

Eka Yuliyani (2010) meneliti tentang “Makna Tradisi Selametan Petik Pari Sebagai Wujud Nilai-Nilai Religius Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang”. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi parsipasif, studi dokumentasi serta wawancara. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, asal-usul tradisi “Selamatan Petik Pari” telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Jawa. Prosesi pelaksanaan tradisi ini dimulai dengan mempersiapkan sesajian dan tumpeng,kemudian sesajian dan tumpeng dibawa kesawah yang hendak dipanen dan dimulailah ritual membaca mantra yang di pimpin oleh ketua adat setempat,kemudian sesajian dan sisa tumpeng dibawa kembali kerumah untuk dihajatkan kembali. Keterkaitan religi dan tradisi dalam tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah mereka menjalankan tradisi karena percaya dengan hal–hal mistik tapi dalam penyampaian doanya selalu ditujukan kepada Yang Maha Kuasa.Perubahan dan pergeseran tradisi yang terjadi tidak terlalu terlihat,hanya dalam sistem peralatan upacara saja yang agak berkurang,sedangkan dalam emosi keagamaan dan sistem keyakinan masyarakat tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Rudianto, Dkk. (2016) meneliti tentang “Model Upacara Ritual Selametan Masyarakat Perkampungan Berbasis Masjid”. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumen-dokumen yang mendukung yang dapat dijadikan sebagai penguat keduanya. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis domain, taksonomi, dan komponensial, serta tema kulutural. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan mencari informan kunci yang dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang sedang diteliti kemudian dikembangkan kepada informan yang lebih luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang peleksanaan ritual selamatan bagi masyarakat perkampungan di Ponorogo berbasis masjid. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi model umat Islam yang masih meyakini budaya-budaya selamatan baik yang berkaitan dengan kelahiran, kematian, mendirikan rumah, menggali sumur rumah, menanam padi di sawah, dan waktu panenan. Karena hamper di setiap kampong menjalankan ritual seperti tersebut. Jenis upacara ritual selamatan yang biasa dilakukan masyarakat Jawa terkait dengan kematian di luar upacara pemakaman ada 8 (delapan) macam yang pokok, yaitu surtanah, telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina.

Landasan Teori

Teori Sapir-Whorf

Perbedaan cara berpikir memiliki kaitan dengan cara manusia berbahasa. Dalam kajian Jufrizal (2007), teori relativitas linguistik yang dipegang oleh Boas, Sapir, dan Whorf menyatakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Sapir dan Whorf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran: 1) linguistic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa  perbedaan struktur bahasa secara umum parallel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive); 2) linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perceptual. Penelitian ini mengacu pada hipotesis yang dikemukakan oleh Sapir-Whorf pada hipotesis yang ke dua yaitu linguistic determinism bahwa setiap individu mempersepsi bahasa menurut sudut pandang bahasanya sendiri.

Teori Makna

Makna kebahasaan erat kaitannya dengan segala segi kehidupan yang sangat komplek dan luas. Teori makna menurut Ferdinand de Saussure mengungkapkan bahwa setiap tanda linguistik  terdiri dari dua unsur yang diartikan dan yang mengartikan. Banyak macam-macam teori mengenai makna diantaranya yaitu makna leksikal dan makna kultural yang akan dikaji oleh peneliti. Menurut Suwandi (2002: 86) makna leksikal merupakan makna leksem ketika leksem tersebut berdiri sendiri, baik dalam bentuk dasar maupun dalam bentuk derivasi dan maknanya kurang lebih tetap seperti terdapat dalam kamus. Sedangkan makna kultural menurut Abdullah (2004: 3) adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungan dengan budaya tertentu.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa yang dipakai oleh informan. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten kendal dengan menitikkan lokasi penelitian secara acak dengan pembagian 4 desa yang ada di barat di desa Montongsari, di tengah desa Lumansari, di timur Desa Kutoharjo, di selatan di Desa Triharjo.  Teknik dasar menggunakan teknik pancing. Peneliti dengan strateginya berusaha memancing pengguna bahasa agar mau berbicara sesuai dengan apa yang diharapkan dan dapat memperoleh data.  Teknik lanjutan cakap semuka, yaitu teknik mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara melakukan percakapan langsung dengan sumber data (informan). Teknik rekam dan teknik catat adalah teknik lanjutan yang digunakan untuk menyadap/merekam pemakaian istilah-istilah, dalam budaya slametan. Analisis data menggunakan metode padan dan metode distribusional. Metode penyajian hasil analsis data menggunakan metode deksriptif informal.

Pembahasan

Setiap tempat ataupun tempat yang berpenghuni pasti memiliki sebuah peraturan ataupun adat istiatadat yang berlaku di wilayahnya masing-masing, seperti yang ada di kabupaten Kendal memiliki budaya untuk merayakan hampir semua kejadian mulai dari kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya.

Namun dengan adanya arus modernisasi yang mengglobal, namunbudaya slametan di Kabupaten ini masih tetap diteguhkan. Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian mulai dari peringatan hari lahir, kematian, pernikahan, keislaman dan lain-lain.

Secara signifikan tidak ada yang terlalu membedakan untuk  tradisi slametan di dalam 4 titik penelitian. Semua memiliki  istilah atau prosesi yang sama, yang membedakan yaitu dari bentuk mana kita mengadakan upacara slametan.

1.      Makna Leksikal dan Makna Kultural Istilah-Istilah Budaya Slametan

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa untuk melaksanakan tradisi ini dibedakan menjadi beberapa bentuk. Dalam analisis, akan menggunakan analisis semiotik yang akan dikaji menjadi 2 bentuk makna yaitu makna leksikal dan makna kultural dari istilah-istilan dalam budaya slametan. Berikut merupakan beberapa bentuk istilah-istilah yang didapatkan dalam tradisi buadaya slametan.  

1)      Slametan

Analisis pertama yaitu akan dikaji secara garis besar atau utamanya yaitu dengan kata slametan  itu sendiri. Dalam hal ini, jika dilihat dari leksikal dari bahasa Arab “salamah” yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Slametan atau selametan dalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, 2016) yaitu berarti sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari berkat atau makanan yang akan didoakan. Jika dilihat dari aspek konotatifnya, slametan merupakan ucapan rasa syukur atau sebagai peringatan hari-hari penting yang dilakukan oleh masyarakat.

Dengan makna lainnya dari slametan sendiri yaitu mempererat tali silaturahmi atau persaudaraan karena semua orang terdekat termasuk saudara atau tetangga juga ikut berkumpul dan melaksanakan doa bersama untuk suatu kebaikan atau peringatan.

2)      Atur-atur

Analisis kedua yaitu atur-atur, makna leksikal berasal dari kata matur yang mengalami proses reduplikasi menjadi atur-atur yang berarti bilang, berbicara atau memberitahu. Artinya dalam budaya slametan ini memiliki arti mengundang para tamu undangan untuk datang ke acara slametan. Makna kulturalnya yaitu kata atur-atur tidak dilakukan jauh-jauh hari atau  menggunakan secarik kertas. Atur-atur yang dimaksudkan adalah dengan cara dari mulut ke mulut. Jadi, tuan rumah yang mengadakan acara slametan akan berkeliling rumah satu jam sebelum acara dimulai untuk atur-atur atau menyampaikan undangan bahwa akan dilaksanakan acara slametan di rumah yang memberi kabar. Makna lain yang terkandung yaitu menjalin silaturahmi antara orang per-orang dengan cara tradisional dengan gethuk tular atau dari mulut ke mulut yang masih asli dalam sebuah tradisi Jawa.

3)      Berkat

Analisis ketiga yaitu oleh-oleh atau jajan dari acara slametan disebut dengan berkat atau berkatan. Jika dilihat dari leksikal berkat dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, 2016 mengartikan bahwa karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia. Berkat dalam budaya slametan berarti sebuah jajanan berupa nasi serta lauk pauk dan jajanan pasar khas orang Jawa. Makna kultural yaitu berupa oleh-oleh bagi orang terdekat sebagai wujud rasa terima kasih telah datang. Dan berkat sebagai wujud dari rasa syukur, terima kasih atas berkah yang telah Tuhan turunkan kepada keluarga yang bersangkutan.

4)      munjung atau punjungan

Analisis ke-empat yaitu mungjung atau punjungan. Dilihat dari makna leksikal Kamus Besar Bahasa indonesia via daring /mun·jung/ artinya penuh (lebih tinggi daripada permukaan takaran) mumbung; memunjung/me·mun·jung/ artinya munjung atau dikarenakan pelafalan dalam bahasa Jawa disebut dengan punjung. Istilah ini merupakan berarti memberi berkat atau lauk berupa sayur atau ayam kepada keluarga terdekat dan/atau ke tetangga kanan-kiri depan-belakang kita. Analisis kultural yaitu munjung atau punjungan ini tersimpul makna yaitu dengan keluarga terdekat maupun dengan tetangga terjalin silaturahmi yang baik dengan memberi sesuatu yang kita punya untuk dilebihkan. Selain itu tersimpul bahwa munjung atau punjungan ini berarti sebagai bentuk ucapan terima kasih “lebih” dikarenakan telah membantu hal-hal kecil lain (gotong royong) sebelum acaranya dimulai.

5)      Tahlil

Analisis ke-lima masuk ke dalam inti dalam sebuah acara slametan yaitu melakukan tahlil bersama. Secara leksikal tahlil /tah·lil/ pengucapan kalimat tauhid laa illaha illallah 'tidak ada Tuhan selain Allah' secara berulang-ulang; ditarik kesimpulan bahwa tahlil yaitu doa bersama yang dilakukan dalam suatu acara doa bersama para muslim yang melibatkan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Makna kultural yang terdapat yaitu sebagai doa ucapan syukur atau sebagai peringatan-peringatan hari penting seperti maulid nabi, peringatan kematian dan lain sebagainya. Makna lainnya yaitu berupa perwujudan dari rasa syukur seorang hamba kepada sang pencipta, sekaligus sebagai masyarakat islam yang tinggal di pedesaan namun tetap menjunjung tinggi doa bersama sehingga diakulturasikan dalam budaya slametan  ini yang ditambahkan dengan doa bersama atau tahlil.  

6)      Wedangan

Analisis ke-enam yaitu acara wedangan. Secara leksikal yaitu wedangan berasal dari bahasa Jawa dari kata “wedang” /we·dang/ /wédang/ Jw n minuman dari bahan gula dan kopi (teh, jahe, dan sebagainya) yang biasanya disedu dengan air panas, biasanya dapat menghangatkan tubuh. Minuman hangat ini biasanya dalam masyarakat Jawa yang sering dijumpai yaitu minum teh atau jahe, namun yang lebih umum biasanya adalah teh yang murah meriah, ada di warung-warung dan mudah dibuatnya. Makna kultural yaitu sebagai wejangan karena selesai membacakan tahlil atau doa bersama. Makna lainnya yaitu sebagai rasa “lebih” karena telah bersukarela datang ke acara slametan juga telah menyempatkan pula untuk berbagi doa bersama sesuai dengan peringatan yang sedang diperingati.

7)      Bubaran

Analisis ke-tujuh yaitu bubaran. Analisis dari leksikal dari KBBI daring bu·bar/ v 1 bercerai-berai ke mana-mana (tentang orang ramai yang berkumpul); berserak-serak ke sana kemari. Analisis kultural yaitu dalam bubaran ini berarti menandakan bahwa telah usai atau selesainya acara slametan. Selain itu, dalam bubaran ini juga terdapat makna lain seperti mempererat atau menghangatkan kembali tali persaudaraan karena dalam acara ini orang yang mengikuti acara ini sebelum kembali ke rumah masing-masing, mereka akan berjabat tangan satu sama lain.

8)      Ngeter-ngeterke

Analisis ke-delapan yaitu ngeter-ngeterke. Analisis leksikal yaitu berasal dari bahasa Jawa yang berarti mengantarkan. Analisis kultural yaitu selain sebagai rasa syukur atau sebagai acara untuk peringatan suatu hal yang besar untuk berkat tetap diantarkan kepada beberapa warga yang tidak hadir dalam acara slametan. Selain itu juga terdapat makna bahwa kita masih mengganggap mereka ada dan tetap mendapat hantaran makanan berupa berkat sekalipun mereka tidak hadir di dalam acara tersebut.

2.      Nilai Budaya Slametan dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan makhluk yang Tuhan ciptakan lainnya. Manusia memiliki akal untuk berpikir secara logis untuk hidup berkelompok atau bermasyarakat dengan menggunakan aturan atau sistem sebagai pedoman dalam menjalani hidup. Aturan tersebut dibuat untuk menciptakan lingkungan yang damai dan tentram menurut pedoman hidup beragama. Menaati apa yang telah Tuhan tentukan dan menjauhi segala larangannya merupakan bentuk cinta kasih manusia kepada Tuhan yang memberikannya hidup makmur di bumi.

          Dalam nilai budaya slametan merupakan wujud dari rasa syukur ucapan rasa syukur atau sebagai peringatan hari-hari penting yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan kesadaran akan diri yang lemah di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Bentuk rasa syukur atau acara syukuran yang dilaksanakan dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga dengan memanjatkan doa bersama sebagai bentuk rasa syukur atau peringatan diri terhadap manusia sebagai makhluk Allah SWT. Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian mulai dari kelahiran, kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Maka slametan perlu diadakan sebagai simbol dari ucapan syukur atau sebagai peringatan hari-hari kematian dan lain sebagainya.

 

Simpulan

Sebuah kebudayaan atau tradisi sudah seharusnya dan sepantasnya untuk tetap dilaksanakan guna mempererat tali persaudaraan. Terdapat makna leksikal dan kultural serta nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam sebuah budaya slametan. Dalam sebuah budaya slametan ini, kita dapat mengambil hikmah yang dapat kita ambil untuk melestarikan budaya di tengah kemodernisasian yang ada. Dalam budaya slametan khususnya di Kabupaten Kendal ini terdapat beberapa istilah yaitu istilah slametan, atur-atur, berkat atau berkatan, munjung atau punjungan, tahlil, wedangan, bubaran, ngeter-ngeterke. Yang dalam berbagai istilah tersebut terdapat berbagai makna leksikal dan kultural. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan merupakan wujud dari rasa syukur ucapan rasa syukur atau sebagai peringatan hari-hari penting yang dilakukan oleh masyarakat.


 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad kholil. 2008. Islam Jawa: Sufisme Dalam Etika Jawa Dan Tradisi Jawa. Win malang press.

 

 

Jourdan, Christine dan Kevin Tuite. 2006. Language. Culture. and Society. Key Topics in Linguistic Anthropology. Cambridge University Press. 2006.

 

 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tth (daring). Diambil dari: https://kbbi.web.id/

 

 

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

 

 

Rudianto, Dkk. 2016. Model Upacara Ritual Selametan Masyarakat Perkampungan Berbasis Masjid. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian 2016 : Bidang Agama Islam, Budaya, Ekonomi, Sosial Humaniora, Teknologi, Kesehatan, Dan Pendidikan. Pp. 25-46. Issn 978-602-0815-22-0.

 

 

Simuh. 2002. Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam Kemistik Jawa. Yokyakarta: bentang.

 

 

Wibowo, Budi. 2009. Simbolisme pada Upacara Selamatan Tujuh Bulanan (Tingkeban)di Desa Pasirharjo Kecamatan Talun Kabupaten Blitar . Skripsi, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Program Sarjana Universitas Negeri Malang.

 

 

Wikipedia. 2018. Selamatan. Diambil dari https://id.wikipedia.org/wiki/Selamatan

 

 

Yuliyani, Eka. 2010. Makna Tradisi “Selamatan Petik Pari” Sebagai Wujud Nilai-Nilai Religius Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang. Skripsi, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Universitas Negeri Malang.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar